Jumat, 20 Mei 2011

Selamat Datang KUHP Baru Indonesia

Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!
(Telaah atas RUU KUHP Tahun 2004)

Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak

untuk keempatbelas kalinya sejak tahun 1964, Rancangan Undang-Undang

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU

KUHP) dibuat. Yang terakhir untuk saat ini, RUU KUHP tahun 2004 telah

digulirkan di lembaga legislatif untuk dibahas. Rancangan ini menggantikan

rancangan sebelumnya, yaitu RUU KUHP tahun 1999/2000. Sebagaimana

dinyatakan oleh Ketua Tim Perumusnya, Muladi, RUU KUHP tahun 2004 ini

lebih maju beberapa langkah daripada rancangan sebelumnya. Ide-ide dasar seperti

pemaafan korban, kategorisasi denda, dan alasan penghapus pidana yang tidak ada

dalam rancangan sebelumnya dimasukkan dalam RUU KUHP tahun 2004 ini.

Artikel ini menelaah RUU KUHP 2004 sekaligus mengkaji tentang ide-ide

dasar yang melatarbelakangi prinsip-prinsipnya. Untuk mempermudah pemahaman

dan pembahasan, analisisnya berangkat dari persoalan pokok dalam hukum pidana,

yaitu tindak pidana, pidana, serta pertanggungjawaban pidana. Sebagai

tambahannya, akan diuraikan juga titik-titik perbedaannya dengan rancangan

sebelumnya (RUU KUHP tahun 1999/2000) serta KUHP (WvS/Wetboek van

Strafrecht).

Kata kunci

: RUU KUHP 2004, pidana,

tindak

pidana,

pertanggungjawaban pidana

A. Pendahuluan

Sejarah pembentukan RUU KUHP 2004 tidak dapat dilepaskan dari

usaha pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan

adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16

Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum

pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.1 Kemudian pada tahun

1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan berlanjut terus

sampai tahun 2004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha

pembaharuan hukum pidana secara universal/gobal/menyeluruh ini masih

*

Dosen Jurusan Jinayah Siyasah (JS) Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh program Doktor Ilmu Hukum di Universitas

Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

1 K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Ghalia Indonesia, 1980),

p. 22.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

2

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...

merupakan sebuah usaha yang belum disahkan menjadi sebuah

perundang-undangan.

Usaha pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh ini dapat

dianggap sebagai pelaksanaan atas amanat pendiri bangsa yang implisit

terkandung dalam Pasal II Aturan Peralihan. Jika demikian adanya, maka

implementasi cita-cita pendiri bangsa ini baru dapat dimulai setelah 19

tahun Indonesia merdeka. Dapat dimaklumi bahwa usaha menyusun

KUHP baru dapat dimulai tahun 1964 ini karena selama kurun waktu 19

tahun (1945-1964), kondisi politik dan ketatanegaraan Indonesia yang

belum stabil.

Rancangan KUHP tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan

rancangan-rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968,

Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin (Konsep

BAS) 1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP 1982/1983,

Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP 1986/1987, Rancangan

KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990, Rancangan KUHP

1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan KUHP

1999/2000. Sampai saat ini (tahun 2006) Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia RI telah mengeluarkan RUU KUHP tahun 2004 sebagai

revisi RUU KUHP 1999/2000. Dengan demikian dapat dilihat bahwa

para pakar hukum di Indonesia paling tidak telah membuat Rancangan

KUHP sebanyak 13 kali (termasuk revisinya) selama 40 tahun (sejak tahun

1964 s.d. 2004).

Sebagaimana konsep pendahulunya, RUU KUHP 2004 merupakan

hasil kajian akademis dari tim pakar hukum. Pakar hukum yang tergabung

dalam Tim Perumus RUU KUHP Tahun 2004 ini diketuai oleh Muladi,

seorang guru besar hukum pidana dan mantan Rektor Universitas

Diponegoro Semarang serta mantan Menteri Kehakiman pada masa

pemerintahan Habibie. Tim Perumus ini dibawah koordinasi Dirjen

Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia.2

2

RUU KUHP Tahun 2004 diserahkan kepada Departemen Hukum dan HAM

pada pertengahan bulan Mei 2005. Dari Departemen Hukum dan HAM, RUU KUHP

Tahun 2004 akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan

kemudian diserahkan DPR untuk dilakukan pembahasan. Namun menurut Harkristuti

Harkrisnowo, RUU KUHP sebaiknya dilakukan pembahasan lagi karena masih

mengandung pasal-pasal sensitif, seperti tindak pidana pers, masuknya hukum Islam,

hukum adat, dan pornografi. Media Indonesia Online, 17 Mei 2005 diakses 20 Mei 2006.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...

3

B. Deskripsi Umum RUU KUHP

Tahun

2004

dan

Perbandingannya dengan KUHP

Ditinjau dari sistematikanya, RUU KUHP Tahun 2004 memiliki

banyak perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan

KUHP. RUU KUHP Tahun 2004 ini hanya terdiri dari dua buku, yaitu

Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari 6 bab dan 208

pasal (Pasal 1-208)3 dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana yang terdiri

dari 35 bab dan 519 pasal (Pasal 209-727).4 Dengan demikian, RUU

KUHP Tahun 2004 tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran

sebagaimana dalam KUHP (WvS) dan menggantikannya dengan istilah

yang lebih umum yaitu tindak pidana.5

Menelaah substansi RUU KUHP Tahun 2004 setidaknya bertitik

tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu

masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban

pidana, serta pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu, RUU KUHP

Tahun 2004 akan ditelaah berdasarkan tiga masalah pokok tersebut di atas.

1.

a.

Tindak Pidana

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya

perbuatan, pada pokoknya RUU KUHP Tahun 2004 berdasarkan

pada sumber hukum tertulis sebagaimana yang dianut dalam KUHP

3 Sebenarnya terdapat dua pasal yang bunyinya sama dalam Buku Kesatu tentang

Ketentuan Umum, yaitu Pasal 37 dan 54. Oleh karena itu, jika salah satunya harus

dihapuskan maka jumlah pasal dalam Bukum Kesatu adalah 207 pasal. Bunyi lengkap

Pasal 37 dan 54 adalah seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari

pertanggungjawaban pidana beredasarkan alasan penghapus pidana jika orang tersebut telah dengan

sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.

4 KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal, Buku Kesatu tentang Aturan

Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103), Buku Kedua tentang Kejahatan

yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488), dan Buku Ketiga tentang

Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).

5 Pada awalnya, terdapat dua istilah yang “bersaing” dalam kamus hukum

Indonesia untuk menunjuk pada istilah Belanda strafbaar feit. Para pakar hukum pidana

Indonesia tidak bersepakat dalam terjemahan kata strafbaar feit tersebut. Moelyatno dan

Roeslan Saleh dan murid-muridnya menggunakan kata “perbuatan pidana”, R. Soesilo

menggunakan kata “peristiwa pidana”, sedangkan Sudarto dan murid-muridnya

menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia,

istilah “tindak pidana” ternyata lebih sering digunakan dalam perundang-undangan.

Khusus mengenai pembelaan Moelyatno, baca Kata Pengantar dalam Moelyatno, Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, (tkp: tp., 1978), p. 5-7. Andi Zainal Abidin mengusulkan

agar dalam RUU KUHP Tahun 2004 digunakan istilah “perbuatan kriminal” atau “delik”

yang berasal dari istilah “criminal act” yang juga berlaku di sejumlah negara. Kompas

Online, 24 Maret 2005 diakses tanggal 20 Mei 2006.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

BAHAN UJIAN HUKUM PERDATA 1 (SEMESTER 3 / 2010/2011)

BAHAN UJIAN HUKUM PERDATA 1 (SEMESTER 3 / 2010/2011)
Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH,

MATERI UJIAN HUKUM PERDATA TERDIRI DARI :

1. PERKAWINAN

2. DOMISILI

3. KEWARISAN

1. Hukum Perkawinan

Pengertian Perkawinan:

• UU no 1/74 ttg Perkawinan: ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UU Perkawinan)

• KUHPerdata: hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara (Pasal 27, 28 BW)

Asas Perkawinan

• Menurut BW:

- Asas monogami, melarang poligami

- Asas kebebasan kata sepakat, tidak ada paksaan

• Menurut UU Perkawinan:

- Asas monogami, tapi boleh poligami dg syarat-syarat tertentu (Pasal 3 – 5 UUPerkawinan )

Syarat Perkawinan:

• UU Perkawinan (Pasal 6 – 12):

- Adanya persetujuan kedua calon mempelai

- Adanya izin kedua orang tua/ wali bagi calon mempelai sebelum berusia 21 tahun

- Usia calon mempelai laki-laki 19 tahun, perempuan 16 tahun

- Tidak ada ikatan perkawinan dengan yang lain

- Tidak ada dalam waktu tunggu (iddah) bagi perempuan janda

- Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi tidak dari talak tiga

Menurut BW:

• Syarat absolut:

- Asas monogami mutlak (Pasal 27)

- Persetujuan kedua mempelai

- Batas usia, bagi laki-laki 18 tahun, perempuan 15 tahun (Pasal 29)

- Bagi janda harus mengindahkan masa tunggu selama 300 hari (Pasal 34 BW)

- Diperlukan izin bagi semetara orang (Pasal 35 – 49)

Lanjutan…

• Syarat material relatif:

- Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat dalam hubungan keluarga (Pasal 30 – 31)

- Larangan untuk kawin dengan orang, dg siapa orang itu pernah melakukan zina (Pasal 32)

- Larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian sebelum lewat waktu 1 tahun (Pasal 33)

Syarat formal (Lanjutan):

• Syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan:

- Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin

- Pengumuman untuk maksud dan tujuan kawin (Pasal 50 – 57)

• Syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan perkawinan = syarat-syarat dapat disahkannya perkawinan

Pencegahan perkawinan:

• Menurut BW:

- Suatu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) dan orang-orang yang tertentu, berdasarkan alasan2 tertentu mempunyai hubungan dengan calon suami/istri; terjadi jika perkawinan itu tidak seyogyanya dilaksanakan

• Menurut UU Perkawinan (Pasal 13 – 21):

- Perkawinan dapat dicegah bila ada phak yang tidak memenuhi syarat dalam perkawinan

Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan:

• Para keluarga dari salah seorang calon mempelai

• Saudara dari salah seorang calon mempelai

• Wali nikah dari salah seorang calon mempelai

• Pengampu dari salah seorang calon mempelai

• Pihak-pihak yang berkepentingan

• Suani/ istri dari salah seorang calon mempelai

• Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pencegahan

(Pasal 14 – 16 UU Perkawinan)

Pembatalan perkawinan:

• Pasal 85 – 99 BW ; Pasal 22 – 28 UU Perkawinan; Pasal 37 – 38 PP No 9/75

• Bukan batal demi hukum; melainkan dengan permohonan pembatalan.

• Dapat diajukan oleh:

- Para keluarga

- Suami/ istri

- Pejabat yang berwenang; pejabat yang ditunjuk; jaksa

- Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung dengan perkawinan itu, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus

Lanjutan…

• Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap; dan berlaku sejak berlansungnya perkawinan

• Pasal 28 UU Perkawinan, bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:

- anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan (tetap anak sah)

- Suami istri yang beriktikat baik, kecuali harta perkawinan, bila pembatalan karena adanya perkawinan terdahulu

- Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk di atas

Akibat Hukum Perkawinan

• Terhadap harta perkawinan

- Harta yang diperoleh selama perkawinan: harta bersama

- Harta bawaan: harta yang dimiliki sebelum perkawinan atau harta yang diperoleh dari hadiah/warisan: dalam penguasaan masing-masing, selama keduanya tidka menentukan lain.

- Perjanjian perkawinan: mengenai pengaturan tersendiri tentang harta kekayaan, secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, pada waktu atau sebelum perkawinan dilaksanakan.

- Kedudukan suami istri terhadap harta bersama adalah sama; masing-masing dapat menggunakan herta bersama atas persetujuan keduanya.

Lanjutan…

• Terhadap Keturunan:

- Anak sah: anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; sedangkan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak tidak sah, yang hanya mempunyai hubungan dengan ibunya (Pasal 42).

- Suami dapat melakukan penyangkalan bahwa anak yang lahir tidak sah, jika dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina (Pasal 44)

- Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak (Pasal 45 -49)

- Kekuasaan orang tua terhadap anak sejak lahir hingga dewasa

Putusnya Perkawinan

• Karena kematian (Pasal 199 BW; Pasal 38 UU Perkawinan)

• Karena perceraian (cerai talak –dari suami–ataupun gugat cerai –dari istri)

• Dalam BW: Keadaan tidak hadir (selama sepuluh tahun, diikuti dengan perkawinan baru istri/ suami), putusan hakim setelah pisang ranjang dan meja makan, setelah dibukukan di Kantor Catatan Sipil

Alasan perceraian (UU Perkawinan):

• Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan

• Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah

• Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun

• Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tiak dapat menjalankan sebagai sumai isteri

• Antara suami istri terjadi terus menerus peselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Akibat putusnya perkawinan:

• Jika putusnya perkawinan karena kematian, maka terjadi hak waris

• Bagi sitri terdapat masa iddah/ tunggu

• Harus memperhatikan ketentuan-ketentuan setelah perkawinan; misalnya jika ingin rujuk, atau ingin menikah dengan orang lain

Akibatnya terhadap keturunan:

• Ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata untuk kepentingan anak. Jika ada perselisihan, pengadilan yang memutuskannya.

• Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan anak dan pendidikan anak-anak. Jika bapak tidak mampu, maka pengadilan bisa memutuskan ibu ikut menanggung biayanya

• Pengadilan bisa memutuskan kewajiban mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan isteri, atau juga menentukan kewajiban bagi mantan isteri

2. DOMISILI

DOMISILI Tempat tinggal (pasal 17 KUHPerd)

Adalah tempat seseorang dianggap selalu hadir melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya, meskipun ia bertempat tinggal di tempat lain

Tempat tinggal seseorang atau badan hukum

Pentingnya domisili:

Psl 3 PP no. 9/1975– orang yang akan melangsungkan perkawinan, memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat setempat

Tempat mengajukan gugatan perceraian: PA domisili tergugat; kecuali jika tidak diketahui domisilinya

Untuk mengetahui pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara perdata seseorang: tempat tinggal tergugat

Tempat mengikuti pemilu; dan tempat pembayaran suatu barang

Macam-macam domisili:

Tempat tinggal yang sesungguhnya: 2=

- Tempat tinggal bebas: tidak terikat atau tergantung kepada orang lain

- Tidka bebas: terikat/tergantung kepada orang lain, misalnya: istri ikut suami; anak ikut ortu; curandus ikut curator; buruh ikut majikan

Tempat tinggal pilihan—berkaitan dengan perbuatan hukum tertentu, dipilih domisili tertentu—misal: perkara di pengadilan

Rumah kematian: tempat tinggal terakhir

3. KEWARISAN

Hukum Waris

Menurut BW

Pengertian

Yaitu Hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi terhadap harta kekayaan seseorang yang meninggal dunian

Mengatur tatacara peralihan harta kekayaan dari seorang yang telah meninggal kepada para ahli warisnyan

Terdapat 3 unsur: adanya orang yang meninggal dunia (pewaris); adanya harta kekayaan yang ditinggalkan; adanya ahli warisn

Harta warisan berupa hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uangn

Ahli waris dapat menolak atau menerima warisann

Menerima warisan: menerima sepenuhnya; dan menerima dengan syarat (misalnya menerima hak tidak menerima kewajiban)n

Akibat Penerimaan warisan dengan bersyarat (beneficiare) –Psl 1032– ahli waris tidak wajib menbayar hutang yang melebihi jumlah warisan; ia dapat membebaskan diri dari pembayaran utang pewaris dengan menyerahkan warisan kepada para kreditur; tidak terjadi percampuran antara harta warisan dan kekayaan pribadi ahli warisn

Penolakan warisan

Penolakan warisan harus dilakukan dengan tegas dihadapan panitera Pengadilan Negerin

Orang yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli warisn

Bagian ahli waris yang menolak, diberikan kepada ahli waris lainnyan

jika penolakan karena paksaan atau penipuan, maka dapat ditiadakann

Cara mewaris

Berdasarkan undang-undang/ab-istentato:n

- Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri

- Mewaris berdasarkan penggantian tempat

Berdasarkan surat wasiat/ ad-testamenton

Ahli waris menurut undang-undang:

Ahli waris berdasarkan hubungan darahn

Janda atau duda yang ditinggal matin

Keluarga yang lebih dekat kepada pewaris (kerabat)n

Negara sebagai penerima warisan, jika tidak ada ahli waris (hanya berkewajiban membayar hutang pewaris, jika aktiva mencukupi; dapat mengambil alih hak dan kewajiban pewaris, dengan putusan hakim)n

Bagian ahli waris menurut UU:

Ahli waris golongan I:n

- Anak beserta keturunannya (anak tidak mewaris bersama keturunannya; jika ada anak, keturunannya tidak mendapatkan)

- Suami atau isteri yang hidup lebih lama; bila istri mengandung, anak dianggap ada

—- suami/ istri bagiannya sama dengan anak

Ahli waris golongan II:

Ahli waris golongan II: orang tua; saudara laki-laki atau perempuan dan keturunannyan

Bagian ayah dan ibu masing-masing:n

- Bila ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki/ perempuan, maka mereka mewaris seluruh harta warisan, masing-masing setengah bagian

- Bila mewaris bersama saudara laki-laki/ perempuan, masing-masing mendapatkan bagian yang sama (1/3)

- Bila hanya ada ayah atau ibu saja, dengan seorang saudara, masing-masing ½

- Bila ayah atau ibu mewaris dengan dua saudara, bagiannya 1/3

- Bila ayah atau ibu mewaris dengan tiga saudara atau lebih, maka baginnya ¼, sisanya dibagi untuk saudara

- Bila hanya ada saudara maka bagian semua untuk saudara

Ahli waris Golongan III:

Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas setelah orang tua, baik dari pihak ayah maupun ibun

dilakukan kloving (pembelahan harta warisan menjadi dua bagian) untuk membagi warisan — untuk garis ayah dan ibun

Ahli waris yang derajatnya sama mendapat bagian yang sama; yang lebih jauh tertutupn

Golongan IV:

Keluarga dengan garis menyamping, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya (Ex: paman dan bibi)n

Dilakukan kloving, baru dibagi ½ dan ½n

Keluarga dalam garis derajat yang lebih dekat menutup keluarga yang lebih jauhn

Legitieme portie:

Yaitu suatu bagian tertentu dari harta warisan yang tidak dapat dihapuskan oleh pewaris.n

Penerimanya: legitimaris; yaitu”n

- Mereka dalam garis lurus ke bawah (Psl 914)

- Mereka dalam garis lurus ke atas (Psl 915)

- Anak luar kawin yang diakui sah (Psl 916)

Orang yang tidak patut mendapatkan warisan:

Orang yang pernah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si pewarisn

Orang yang diputus oleh hakim bersalah karena menfitnah si pewarisn

Orang yang dengan kekerasan mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatn

Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewarisn

Warisan anak luar kawin

Anak luar kawin:n

- Dalam arti luas: anak zina (dilahirkan karena perzinahan) dan anak sumbang (dilahirkan dari mereka yang masih mempunyai hubungan darah sangat dekat)

Dalam arti sempit: anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, sebagai akibat dari hubungan antara dua orang lajang.—bisa diakui sah, shg dapat mempunyai hubungan dengan orang tua yang mengakuinya, buka dengan keluarga ortu tersebut.

Bagian waris anak luar kawin

Yang mendapat bagian waris: anak luar kawin yang diakui sahn

Jika mewaris bersama dengan ahli waris golongan I, bagiannya 1/3 dari bagian anak sahn

Bila mewaris bersama dengan ahli waris golongan II dan III, maka bagiannya adalah ½. Begitu juga jika anak luar kawin mewaris bersama-sama (lebih dari satu)n

Pewarisan menurut surat wasiat

Surat wasiat/ testament : suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.n

Yang boleh membuat surat wasiat: yang telah berumur 18 tahun, atau telah dewasa, atau belum 18 tahun tapi sudah menikahn

Bentuk surat wasiat:

Wasiat olographis/ olographis testament : Wasiat yang ditulis dengan tangan sendiri dan ditandatangani oleh pewaris, kemudian diserahkan kepada notaris untuk disimpan, secara terbuka/tertutup; dihadiri dua saksin

Wasiat umum/ openbaar testament : Wasiat yang dibuat dihadapan notaris, dengan dua saksi. Notaris menulis kehendak di pewaris.n

Wasiat rahasia/ testament tertutup: Wasiat yang ditulis tangan sendiri atau ditulis tangan oleh orang lain, dan ditandatangani pewaris; kemudian diserahkan ke notaris dlm keadaan tertutup/ rahasia untuk disimpann

Akta di bawah tangan/ codicil : penetapan hal-hal yang tidak termasuk dalam pembagian warisan itu sendiri; misalnya tentang penguburannya, memberikan pakaian dan perhiasan…n

Isi surat wasiat:

Hibah wasiat/ legaat : pemberian sebagian harta warisan kepada orang-orang tertentu setelah pewaris meninggal dunia; yang menerima legaat: legataris (bukan dari ahli waris; menerima legaat atas hak khusus; hanya menerima aktiva)n

Pengangkatan ahli waris —ahli waris testamentern

Wasiat juga dapat berisi:

Yang tidak terkait dengan harta peninggalan:

Perintah atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatun

Pencabutan testament terdahulun

Pengangkatan seorang wali/ pelaksana wasiatn

Fidel commis:

Pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu, dan bila lewat waktu ia harus menyerahkannya kepada seseorang yang sudah ditetapkan dalam testament.n

Disebut juga erfselling over de hand (hibah wasiat lompat tangan) yaitu pemberian warisan secara melangkahn

Lanjutan…

Pada dasarnya Fidel commis dilarang, namun dapat diperbolehkan dalam hal:n

- Untuk memenuhi keinginan pewaris agar harta peninggalannya tidak dihabiskan oleh anak-anaknya

- Fidel commis de residuo; seorang ketiga yang meninggal dunia sebelumnya, diberikan untuk anaknya yang sah sudah atau belum dilahirkan



SUMBER:

IBU SRI WAHYUNI / http://sriwahyuni-suka.blogspot.com/

Tags: BAHAN KULIAH, BAHAN UJIAN, BAHAN UJIAN SEMESTER 3, DOMISILI, HUKUM, HUKUM PERDATA, ILMU HUKUM, KEWARISAN, PERKAWINAN, SYARIAH, UIN
Komentar
HUKUM PIDANA I
Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH, UMUM by Muhammad Jamil — Tinggalkan komentar
24/01/2011
Hukum Pidana Indonesia
Pengertian Hukum Pidana
n Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi
n Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana
n Menentukan cara bagaimana sanksi itu dapat dikenakan
Jenis Hukum Pidana
n Materiel ~ Formil
n Umum ~ Khusus
n Dikodifikasikan ~ Tidak Dikodifikasikan
n Nasional ~ Lokal
n Tertulis ~ Tidak Tertulis
n Internasional ~ Nasional
n HP Obyektif (ius poenale) ~ HP Subjektif (ius puniendi)
Fungsi Hukum Pidana
Melindungi kepentingan hukum orang/masyarakat/negara dari perbuatan-perbuatan yang hendak menyerangnya, dengan cara mengancam dengan sanksi berupa pidana (=nestapa) bagi orang lain.
Karena demikian, hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium (obat terakhir jika hukum lain tak mampu).
Tujuan Hukum Pidana
n Aliran klasik (Beccaria, JJ Rousseau, Montesquieu): melindungi individu dari kekuasaan penguasa
n Aliran modern: melindungi individu/masyarakat dari kejahatan
Hukum Pidana Materiel di Indonesia
n Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
n Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.
n Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918.
n Sumber lain: UU yang dibuat oleh RI (Korupsi, Lalu Lintas, Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dll)
Sejarah Pembentukan KUHP
Sistematika KUHP
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Asas Nasionalitas Pasif
(Asas Perlindungan)
Hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan yang dilakukan di luar wilayah negara itu, jika kepentingan negara tersebut dilanggar di wilayah negara lain
Asas Nasionalitas Aktif
(Asas Personalitas)
Hukum pidana suatu negara berlaku bagi warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara itu
Asas Universal
Hukum pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di manapun
TP: kejahatan mata uang, perompakan/pembajakan, terorisme
Tindak Pidana
n Harus dibedakan dengan “perbuatan jahat yang terwujud konkret di masyarakat” sebagaimana “perbuatan jahat” (crime) dalam tinjauan kriminologi.
n Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana sebagaimana terwujud abstrak dalam peraturan perundang-undangan
Istilah
n Belanda: strafbaar feit
n Peristiwa pidana (UUDS 1950), perbuatan pidana (UU Drt 1/1951), dan tindak pidana
Unsur-unsur Umum Tindak Pidana
Rumusan Tindak Pidana
n Tindak pidana harus dirumuskan (baik tertulis maupun tidak tertulis) sebagai pelaksanaan asas legalitas.
n Sanksi pidana dapat dijatuhkan karena adanya perbuatan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang. Oleh karena itu, perbuatan apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan harus dapat diketahui secara pasti.
à melarang “pasal karet” spt UU 11/1963 tentang Subversi, 281 (Jan Remmelink)
Perumusan Unsur Tindak Pidana
dalam Peraturan Pidana
n Menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatannya (misal: 281, 305)
n Hanya menyebut kualifikasi delik, tanpa menyebut unsur-unsurnya (misal: 297, 351)
n Menyebutkan unsur-unsur dan kualifikasi deliknya (misal: 338, 362, 372, 378)
Penempatan Norma dan Sanksi
n Sekaligus jadi satu
n Dipisah
n Sanksi dijatuhkan lebih dahulu, sedangkan norma belum ditentukan (122 ke-2)
Normentheorie (oleh Binding)
n Norma sebagai pedoman hidup manusia tidak berada dalam hukum pidana, namun di luar hukum pidana
n Hukum pidana tidak memuat norma, tetapi hanya berisi sanksi pidana belaka.
n Oki, pencurian tidak dikatakan “MELANGGAR Pasal 362 KUHP” akan tetapi justru “SESUAI dengan Pasal 362 KUHP.
Jenis-jenis Tindak Pidana
n Kejahatan — Pelanggaran
n Delik formil (perbuatan yang dilarang: 362) — Delik materiel (akibat yang tidak dikehendaki: 338)
n Commissionis (pelanggaran larangan/362,372,378), Omissionis (pelanggaran perintah/522,531), Commissionis per Omissionen Commissa (pelanggaran larangan dg tidak berbuat/194)
n Dolus (310,338) — Culpa (359,360)
n Aduan (284,310) — Bukan Aduan (362,338)
Hubungan Kausalitas
n Dalam tindak pidana, muncul adanya “akibat” (adanya perubahan di dunia luar) yang dapat berupa pembahayaan atau perkosaan thd kepentingan hukum.
n Munculnya “akibat tertentu” menjadi penting, terutama dalam pembagian delik formil dan delik materiel. Dalam delik formil, akibat hanya accidentalia. Dalam delik materiel, akibat merupakan essentalia, jika tidak ada akibat, maka delik materiel tidak ada/hanya sebagai percobaan (misal: 338 tetapi tidak mati)
n Hubungan sebab akibat (kausalitas) selain sangat penting dalam delik materiel, juga menjadi hal penting dalam delik-delik yang dikualifikasi oleh akibat. Misal: 187, 188, 194 (2), 195 (2), 333 (2 dan 4) 334 (2 dan 4), 351 (2 dan 3), 355 (2 dan 3).
n Dalam menetapkan sebab dari suatu kejadian, muncul teori kausalitas yang hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang
Teori-teori Kausalitas
n Teori equivalensi (Von Buri à van Hamel)
(aequivalentie-theorie/bedingungs-theorie/conditio sine qua non-theorie)
Tiap syarat/faktor adalah sebab, dan semua syarat/faktor nilainya sama dan sederajat. Kesulitannya, hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir.
Misal: pembuat pisau dan penjual pisau menjadi penyebab terjadinya pembunuhan.
n Teori Individualisasi
individualiserende-theorien (Birkmeyer)
Yang menjadi causa adalah faktor (bedingung) yang paling berpengaruh. Kesulitannya apabila semua faktor itu berpengaruh atau sifat dan corak dalam faktor-faktor itu tidak sama.
ubergewicht-theorie (Binding)
Sebab suatu perubahan (akibat) adalah identik dengan faktor ketidakseimbangan. Satu-satunya faktor sebagai penyebab utama adalah faktor terakhir yang menghilangkan keseimbangan itu. Kesulitannya: bagaimana menentukan faktor terakhir yang menyebabkan ketidakseimbangan?
Misal: seorang anak dihukum bapaknya masuk kamar dan dikunci. Muncul gempa, rumah roboh, anaknya mati karena tertimpa dinding.
n Teori Generalisasi
(adekwat)adaequaat-theorie/teori sobyektif (Von Kries)
Sebab adalah suatu peristiwa yang sepadan dengan akibat yang sebelumnya diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan oleh si pembuat. Misal: berkendaraan cepat, kemudian menabrak orang sampai mati.
nachttraglicher prognose/teori obyektif (Rumeling)
Sebab adalah faktor obyektif yang diramalkan dari serangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolok ukur faktor obyektif adalah ilmu alam, sesudah terjadinya delik. Misal: orang disuruh untuk mendaki Merapi, tiba-tiba Merapi meletus. Orang tersebut mati karena wedhus gembel.
Kausalitas pada Delik Commissionis per Omissionen Commissa
n Pada dasarnya, sesorang tidak mungkin menimbulkan akibat jika orang “tidak berbuat” (sebagaimana dalam ilmu alam).
n Namun seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebagai sebab apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.
n Oleh karena itu, “tidak berbuat” bukan berarti tidak berbuat sama sekali, namun dia “tidak berbuat sesuatu yang diharapkan/diwajibkan”.
Sifat Melawan Hukum
(onrechtmatig, unrecht, wedderechtelijk)
n Apakah sifat melawan hukum itu?
à tanpa hak sendiri (zonder eigen recht) [Hoogeraad]
à bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht) [Noyon]
à bertentangan dengan hukum obyektif
(tegen het objectie recht) [Simon]
n Kadangkala sifat melawan hukum diartikan “jika perbuatan itu masuk dalam rumusan undang-undang”.
à tidak salah, tetapi tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik disebut melawan hukum, misal algojo yang menembak mati terpidana mati (ada alasan pembenar)
n Sifat melawan hukum yang formil apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang. Sifat melawan hukumnya dapat hapus hanya berdasarkan undang-undang.
n Sifat melawan hukum yang materiel apabila perbuatan melawan hukum atau tidak, tidak hanya berdasar pada aturan tertulis, namun juga melihat berlakunya hukum yang tidak tertulis.
n Sifat melawan hukum yang formil, di Indonesia tidak dianut lagi, sebagaimana disepakati dalam Seminar Hukum Nasional 1963, dan dalam RUU KUHP 2008 Pasal 1 (3) [asas legalitas materiel].
n Sifat melawan hukum yang materiel dalam fungsinya yang negatif: mengakui adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
n Sifat melawan hukum yang materiel dalam fungsinya yang positif: menganggap bahwa suatu perbuatan tetap sebagai delik, meskipun tidak diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan juga dengan ukuran-ukuran lain di luar undang-undang.
Misal: pembunuhan karena alasan carok di suatu daerah?
Rumusan “sifat melawan hukum”
dalam KUHP
n Melawan hukum: 167, 168, 335 (1), 522, 378 [HR: melawan hukum=tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu.] 522 [HR: melawan hukum=tanpa alasan yang wajar tidak datang, padahal yang bersangkutan wajib menghadap]
n Tanpa mempunyai hak untuk itu: 303, 548, 549
n Tanpa izin: 496, 510
n Dengan melampaui kewenangannya: 430
n Tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum (429)
Wahndelict/Putativdelict
jika seseorang mengira telah melakukan tindak pidana, namun perbuatannya bukan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum.
Kesalahan
n Dipidananya seseorang tidak cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (sifat melawan hukum), tetapi harus ada juga unsur kesalahan dalam diri pelaku (subjective guilt).
n Berlaku asas culpabilitas, (keine strafe ohne schuld/geen straf zonder schuld/nulla poena sine culpa) bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana tanpa adanya kesalahan. Lihat RUU KUHP Pasal 37.
n Kesalahan merupakan salah satu problem/masalah pokok dalam hukum pidana (trias dalam hukum pidana), di samping sifat melawan hukumnya perbuatan dan sanksi pidana.
n Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari (Jan Remmelink). Kesalahan ini dapat disamakan dengan “pertanggungjawaban pidana”.
n Maurach (Jerman): Tatverantwortung: tiada kesalahan namun tetap bertanggungjawab atas tindakan itu. Orang gila tidak bersalah, namun dapat dijatuhi tindakan (maatregel) berupa penempatan di RS jiwa.
n Asas kesalahan tidak tercantum dalam KUHP (WvS), karena pandangan tentang schuld (kesalahan) baru muncul pada tahun 1916. Sebelumnya, hukum pidana hanya menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya (Daadstrafrecht/Erfolgstrafrecht) sebagai akibat dari pengaruh ajaran Erfolgshaftung dari ajaran hukum kuno (hukum kanonik) versari in re illicita (seseorang bertanggung jawab atas semua akibatnya tanpa melihat hubungan batin pelaku dengan akibatnya).
n Namun demikian, hukum pidana dewasa ini tetap mengambil sikap sebagai Daad-Dadertrafrecht (Tat-Taterstrafrecht), yang menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya dan orang yang melakukan tindak pidana.
n Dalam tradisi hukum Anglosaxon, kesalahan sebagai salah satu asas penjatuhan pidana muncul dalam maxim “actus non facit reum, nisi mens sit rea=an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty” atau disingkat mens rea/guilty mind (sikap batin jahat si pembuat).
n Hubungan kesalahan dengan kehendak bebas: indeterminisme/free will/qadariyyah, determinisme/unfree will/jabariyyah?
n Bentuk kesalahan: kesengajaan (dolus, opzet, intention) dan kealpaan/ketidaksengajaan (culpa, negligence)
n Pengertian kesalahan secara psikologis: kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psikologis antara pembuat dengan perbuatannya. Hubungan itu bisa kesengajaan (=menghendaki perbuatan) atau kealpaan (tidak menghendaki perbuatan). Hanya digambarkan keadaan batin pembuat.
n Pengertian kesalahan secara normatif: kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian ini dari luar tentang hubungan antara pembuat dengan perbuatannya.
Unsur-unsur Kesalahan
n Adanya kemampuan bertanggung jawab dalam diri pembuat (Zurechnungsfahigkeit/Schuldfahigkeit)
n Hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, berupa kesengajaan atau kealpaan
n Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.
Jika ketiga-ketiganya terpenuhi, maka seseorang dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana
Kesimpulan
Kemampuan Bertanggung Jawab
(Zurechnungfahigkeit)
n Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat mampu bertanggung jawab
n Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan jika ia tidak mampu bertanggung jawab
n Oleh karena itu, kemampuan bertanggung jawab tidak mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan à sikap dualistis
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab jika: (Memorie van Toelichting)
n tidak ada kebebasan memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang
n karena suatu keadaan, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya
Pasal 44
n Tidak memuat kemampuan bertanggung jawab
n Memuat suatu alasan yang mengakibatkan tidak dapat bertanggung jawab, yaitu cacat jiwa
n Memuat syarat-syarat kemampuan bertanggung jawab secara negatif
n Sistem yang dipakai dalam KUHP untuk menentukan tidak dapat bertanggung jawab adalah diskriptif-normatif.
n “Deskriptif” karena gambaran keadaan jiwa digambarkan apa adanya oleh psikater
n “Normatif” karena hakim kemudian menilai berdasarkan pemeriksaan psikater.
Tidak mampu bertanggung jawab sebagian:
n Kleptomanie
n Pyromanie
n Claustrophobie
n Punya perasaan senantiasa dikejar-kejar
n Kasus Sumanto?
n Mabuk karena minuman keras?
n Keraguan terhadap kemampuan bertanggung jawab tersangka/terdakwa?
RUU KUHP (Pasal 38)
n Strict liability (pertanggungjawaban pidana ketat)
n Vacarious liability (pertanggungjawaban pidana pengganti)
Kesengajaan (dolus, opzet)
n Kesengajaan merupakan salah satu bentuk dari unsur kedua dalam kesalahan (hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya)
n Arti kesengajaan (MvT): menghendaki dan mengetahui (willens en wetens)= kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu.
Teori Kesengajaan
n Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (von Hippel, Simons)
n Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya (Frank)
Corak Kesengajaan 1:
Kesengajaan dengan maksud
n Pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang
Corak Kesengajaan 2:
Kesengajaan dengan sadar kepastian
n berakibat yang dituju
n akibat yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan; Kasus Thomas van Bremenhaven)
Corak kesengajaan 3:
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan
(dolus eventualis/sengaja bersyarat)
n Ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi
n Contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.
Teori Apa Boleh Buat
(in Kauf nehmen theorie)
n Dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan, si pembuat menetapkan dalam hatinya bahwa ia menghendaki perbuatan yang dilakukan, meski akan ada akibat yang tidak diharapkan
n Akibat itu sebenarnya tidak ia kehendaki, atau bahkan takut akan ada kemungkinan timbulnya akibat itu, namun jika akibat itu muncul, apa boleh buat dia berani menerima resiko, bertanggung jawab atas akibat yang mungkin timbul.
n Dengan teori ini, tidak perlu lagi membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Prof. Sudarto)
Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos)
n Kesengajaan berwarna: untuk adanya kesengajaan, pembuat menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang (Zevenbergen, Mulyatno)
n Kesengajaan tidak berwarna: cukuplah si pembuat menghendaki perbuatan yang dilarang itu, tanpa perlu tahu bahwa perbuatan itu terlarang/melawan hukum (Jonkers).
Macam-macam kesengajaan
n Aberratio ictus: seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
n Dolus premeditatus: dolus dengan rencana terlebih dahulu (353, 340, 342) >< dolus repentinus n Dolus determinatus: kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya. n Dolus indeterminatus: kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misal menembak segerombolan orang. n Dolus alternativus: kesengajaan dengan pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur. n Dolus directus: kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya. n Dolus indirectus: bentuk sengaja ini ada dalam Code Penal, misal dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil. n Dolus antecedens/subsequens: melakukan tindak pidana secara culpa terhadap seseorang, yang ternyata ada rencana untuk melakukan tindak pidana terhadap orang tersebut. n Dolus malus: seseorang dipidana jika ia sadar bahwa perbuatannya melawan hukum. Bentuk ini tidak dianut karena KUHP menganut sengaja tidak berwarna. Kekeliruan/Kesesatan (mistake, dwaling, error) n Dalam ketidaksengajaan ada keadaan batin yang disebut kesesatan atau salah kira n Bentuk kesesatan: kesesatan dalam hal peristiwa (error facti) dan kesesatan dalam hukumnya (error iuris)—bedakan dengan delik putatif: mengira bahwa perbuatannya melawan hukum, ternyata tidak) n Error facti non nocet, error iuris nocet (Pasal 42 RUU KUHP 2008) n Bagaimana jika error in objecto dan error in persona? Kealpaan/kelalaian (Culpa, Negligence) n Sembrono, teledor, kurang hati-hati, kurang praduga n kealpaan terletak antara sengaja dan kebetulan (MvT). n Hazewinkel-Suringa: delik culpa merupakan delik semu (quasidelict), sehingga ada pengurangan sanksi pidana. n Ada kesulitan dalam penentuan tindak pidana sebagai sengaja dengan sadar kemungkinan atau sebagai culpa. n Terkadang culpa terlalu ringan jika diancam dengan pidana. Untuk mengatasi persoalannya, diajukan melalui ranah hukum yang lain, pidana à perdata. Misalnya karena kelalaiannya merusak barang miik orang lain. Cukup dengan gugatan perdata. Jenis Culpa n Kelalaian yang menimbulkan akibat (359, 360) n Kelaialain yang tidak menimbulkan akibat (205, 409) Sanksi n Sanksi dalam hukum pidana dikenal dua macam: sanksi pidana (straf/punishment) misalnya pidana penjara, denda, dll; dan sanksi tindakan (maatregel/treatment) seperti rehabilitasi, pengusiran, dll. n Istilah “pidana” lebih dipilih dalam hukum pidana Indonesia karena menunjukkan kekhususan ciri dan sifatnya. n “Hukuman” merupakan istilah umum yang dipergunakan dalam lapangan hukum administrasi, pendidikan, agama, dsb. penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Prof. Sudarto) Unsur/Ciri Pidana n Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. n Pidana itu diberikan secara sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan. n Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. (Barda&Muladi) Concept of Punishment (Alf Rose) n Punishment is aimed at inflicting suffering upon the person upon whom it is imposed (pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan) n The punishment is an expression of disapproval of the action for which it is imposed (pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku) Menurut Alf Rose, bukan punishment: n Tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan tetapi tidak merupakan pencelaan, misal: electric shock pada binatang dalam penelitian agar dapat diamati n Tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan tetapi bukan penderitaan, misal: teguran, peringatan n Tindakan yang tidak untuk penderitaan dan tidak untuk pencelaan, misal: dokter gigi yang mencabut pasien Tujuan Pemidanaan (Herbert L. Packer) n untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah) n untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar Perbedaan pidana (straf/punishment) dan tindakan (maatregel/treatment) n Alf Rose: harus didasarkan pada ada tidaknya unsur pencelaan, tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur penderitaan n Herbert L. Packer: tingkatan kekejaman/ketidakenakan bukan ciri yang membedakan pidana dan tindakan, tetapi lebih pada tujuan dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan. Treatment bertujuan untuk keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. n Ruslan Saleh: batas pidana dan tindakan secara teorits sulit ditentukan, karena pidana sendiri pun banyak hal mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki. Teori Pembanding n Hulsman: pidana bukanlah suatu penderitaan atau nestapa. Hakikat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen), yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku dan penyelesaian konflik. n Hoefnagels: pidana bukan pencelaan (censure), penjeraan (discouregement), atau penderitaan (suffering), namun merupakan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah dirumuskan oleh undang-undang, sejak penahanan sampai penjatuhan vonis. Pidana merupakan proses waktu.Pemberian sanksi merupakan proses pembangkitan semangat (encouregement) agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan suatu norma atau undang-undang yang berlaku Teori Pemidanaan (1) n Teori Absolut (retributive theory): pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan/tindak pidana. Pidana bukanlah alat untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi mencerminkan keadilan. Penganut: Immanual Kant, Hegel. Pembagian Teori Retributif (Nigel Walker) Pembagian Teori Retributif (John Kaplan) Teori Pemidanaan (2) n Teori relatif/teori perlindungan masyarakat/utilitarian theory: pidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut keadilan, namun digunakan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan bertujuan tertentu yang bermanfaat. Tujuan Pemidanaan dalam RUU KUHP (Pasal 54) n Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. n Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. n Menyelesaikan konflik yang ditumbulkan karena tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangakn rasa damai dalam masyarakat’ n Membebaskan rasa bersalah pada terdakwa. n Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pidana dalam RUU KUHP n Tujuan pemidanaan n Pedoman pemidanaan n Pengampunan hakim (rechtelijkpardon) n Modifikasi pidana karena ada perubahan perilaku narapidana atau karena ada perubahan UU n Elastisitas pemidanaan n Pidana mati menjadi jenis pidana khusus n Penambahan jenis pidana baru, yaitu pidana pengawasan dan kerja sosial (pidana pokok), serta pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat (pidana tambahan) n Dikenal adanya tindakan (matregel) bagi pelaku yang tidak dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan karena gangguan jiwa n Membedakan pidana dan tindakan bagi anak n Ada penundaan pidana mati n Mengenal minimum khusus pidana n Pengkategorian pidana denda n Menambah alasan memperingan pidana Alasan Penghapus Pidana n Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44) n Daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48 (setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan) n Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat (noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2) n Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1)) Tags: DALAM HUKUM, HUKUM, hukum indonesia, HUKUM PIDANA, HUKUM PIDANA DI INDONESIA, INDONESIA, KEALPAAN, PIDANA, PIDANA INDONESIA Komentar KULIAH HTN “HAK-HAK AZASI MANUSIA” Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH, UMUM by Muhammad Jamil — Tinggalkan komentar 15/01/2011 1. LABEL SEJARAH 2. PENGATURAN HAM l Sejarah HAM l 1. istilah HAM l Droit de l’home ( Perancis) l Human Right ( Inggris). l Fitrah ( Arab). l Arti: Hak yg fundamental/ hak asasi yang melekat pada martabat mns sbg mahkluk ciptaan Tuhan sejak lahir di dunia shg bersifat fitri ( kodrat) tdk pemberian manusia/negara l Nabi Musa -> membebaskan orang Yahudi dari Fir’aun.

l Th 2000 SM— à raja Hamurabi ( Babylonia).

l Tahun 600 SM–à Raja Salon ( Athena).

l Tahun 327——- à Kaisar Flairus Anictius Justian ( Romawi).

l Yunani –à Socrates, Aristoteles.

l Islam ———— -à Manusia punya kedudukan yang sama yang berbeda hanya ketakwaannya.

l Setiap orang dilahirkan dalam keadaan suci………..

l Perlindungan HAM

l Piagam Magma Charta 15 Juni 1215 –à Inggris lalu lahir piagam HAM : Habeas Corpus Act ( 1874):

l Bill of Right (1689).

l Bill 0f Right 1776 di Firginia

l Perancis 1791 dalam Konstitusi Perancis 1776 “ declaration of Independence”

l Sebelum abad ke -7 Piagam Madinah ( Konstitusi Madinah).

l The Four Freedom 6-1-1941 oleh Roosevelt: 4 kebebasan:

l Kebebasan pilih agama; rasa takut; berbicara dan mengemukakan pikiran,

l kebebasan dari kekurangan dan kelaparan —àPBB disahkan dalam Piagam Statuta MI ttg perlindungan HAM

l Setelah PD II Tahun 1946

l ECOSOC PBB merancang Piagam HAM ( Universal Declaration of Independence Human Right ( Peryataan Sedunia ttg Hak-hak Asasi Manusia ) 10 Desember 1948.

l ( mengikat secara moral belum yuridis—Ratifikasi).

l B. Pengaturan HAM.

l 1. Convenat PBB.

l Isi: Perjanjian ttg hak-2 ekonomi, social dan budaya, hak sipil dan politik ( hak hidup, kebebasan dan keamanan dimauka badan peradilan, berkumpul, berserikat, hak atas pekerjaan, hak hidup layak, pendidikan dll.

l 2. Konstitusi Indonesia

Sidang BPUPKI –Soepomo –negara

kesejahteraan. Hasilnya tidak perlu ham diatur

secara rinci dalam UUD

l Yamin HAM perlu diatur secara rinci

( Ketetapan MPR atau GBHN dan Konstitusi).

Ham Dalam konstitusi RIS (26) Pasal (7-33)

Ham Dalam UUDS 1950 ( 27) Pasal) ( 7-34)

Ham Dalam UUD 45 1945

l Ham Dalam Peraturan per UU

l Hak Kewarganegaran secara sukarela ( UU No. 62 tahun 1958 diubah dengan UU No. 12/2006

l Hak memlilih dan dipilih ( misal UU Pilpres dan Pelilihan DPR/DPRD

l Praduga Tak bersalah

l Hak Kebebasan Pers

l Hak fakir miskin dan kesejahteraan social UU N0.42 Tahun 1969.

l Jamsostek.

l Hak perlindungan Hak Cipta UU No. 6 Tahun 1982.

l UU HAM No.39/99, 26/2000 Pengadilan Ham.

l Hukum Acara Ham.

l HAM Dalam UUD 1945

v Kesamaan Kedudukan hukum dan pemerintahan ( Pasal 27 Ayat (1)).

v Pekerjaan dan Penghidupan yang layak

(Pasal 27 Ayat (2).

v Berserikat dan Berkumpul Pasal 28.

v Mengeluarkan Pikiran Pasal 28.

v Kebebasan Beragama Pasal 29 Ayat (2).

v Mendapatkan Pengajaran Pasal 31

l Pelanggaran Ham

l Keppres No. 50 Tahun 1993

Pembentukan Komisi Nasional Hak Manusia atau KOMNAS HAM.

Kegiatannya: memantaui dan menyelididki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat , pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara menganai pelaksanaan HAM.

l UU No. 39 tahun 1999 tth HAM

l Pembuatannya berpedoman pada Deklarasi HAM-PBB, Konvensi PBB ttg Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi PBB Terhadap Hak-hak Anak .

l UU ini merupakan payung dari seluruh peraturan per UU ttg Ham sehingga pelanggaran , baik langsung ataupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata dan administrasi seuai dg ketentuan yang berlaku.

l Sekarang baru ada 4 Pengadilan HAM

l Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makasar.

l Pertimbangan dibentuknya Pengadilan HAM

l Pelanggaran berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas, baik tingkat nasional maupun internasional dan bukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman orang-masyarakat.

l Oka diperlukan langkah penyidikan, penyelidikan, penuututan dan pemeriksaan yang bersifat khusus.

l Perpu 1/1999 tidak memadai

l Asas retroaktif ( berlaku surut) untuk pelangggar HAM.

l Perpu 1/1999 tdk memungkinkan adanya pengadilan terhadap kasus pelanggaran HAM.

l Pelanggaran berat

l Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan

l Yaitu setiap operbuatan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebahagian kelompok ras bangsa, etnis agama dengan cara :

l membunuh anggota kelompok.

l Mengakibatkan penderitaan fiusik

l Menciptakan kondisi yang menbgakibatkan kemusnahan.

l Memaksakan tindakan2 yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok dan

l Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

l Kejahatan Kemanusiaaan.

l Yaitu satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya serangan tsb bertujuan secara lanngsung terhadap penduduk sipil berupa:

l Pembunuhan.

l Pemusnahan.

l Perbudakan.

l Pengusiran atau pemindahan pddk secara paksa.

l Perampasan kemerdekaan.

l Penyiksaan.

l Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuyran secara palsa dll.

l Penganiyaan

l Penghilangan orang secara paksa.

l Kejahatan aparrtheid.

SUMBER :

SITI FATIMAH,SH., M.HUM, MATERI KULIAH HUKUM TATA NEGARA, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2010
Tags: BAHAN KULIAH, BAHAN KULIAH HTN, HTN, HUKUM, HUKUM TATA NEGARA, KULIAH, MATERI, MATERI KULIAH, Sidang BPUPKI, TATA NEGARA, YUNANI
Komentar
KULIAH HTN (OTONOMI DAERAH)
Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH, UMUM by Muhammad Jamil — Tinggalkan komentar
15/01/2011

• LABEL OTODA

• Sidang BPUPKI 29 Mei 1945

• “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

• Pidato Moh Yamin tanggal 11 juli 1945:

• Pemerintahan dalam RI ini pertama-tama kali tersusun dari badan-badan mayarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintah yang paling bawah, pemerintah ini saya namakan pemerintahan bawahan”………………….

• Soepomo

• Ttg daerah, kita menyetujui bentuk persatuan,unie, oleh karena itu di bawah Pemerintahan Pusat, di bawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaats, akan tetapi, hanya Daerah. Bentuknya Daerah itu ada dan bagaimana bentuk Pemerintahan Daerah, ditetapkan dalam UU. Demikian Pasal 16

• Pasal 16

• “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dalam UU, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.

• 18 Agustus 1945

• Dalam Rancangan UUD 1945 :

• Intinya:

• 1. keberadaan daerah otonomi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi.

• 2. Satuan Pemerintahan tingkat daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.

• 3. pemerintahan tingkat daerah hanya disusun dan diselenggarakan dengan” memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

• Penjelasan Pasal 18

• DaerahIndonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah pripinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat daerah admnistrati.

• Otoda Masa RIS dan UUDS 1950

• Swapraja

• Diatur dala pasal 64-67 (tidak disebut daerah istimewa).

• Keluar UU No 22 Tahun 1948 ttg Pemda diatur dalam Pasal 32.

• Dalam UUDS 1950, daerah swapradj sama derajatnya dengan daerah2 lain. Keistimewaannya hanya karena dengan daerah swapraja mempunyai hak asal-usul yang perlu mendapat perhatian tersendiri.

• Pasal 132 UUDS1950 : daerah swpradja dapat dihapuskan.

• Pengaturan Pemda Setelah Perubahan UUD 1945

• 18 Agustus 2000, MPR Melalui Sidang Tahunan melakukan Perubahan kedua Terhadap UUD 1945 dengan mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B,

• Prinsip-Prinsip Pemerintah Daerah Pasca Amandemen

• (1) Prinsip daerah mengatur dan mengurus rumah sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan ( Pasal 18 ayat (2).

• (2) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya ( Pasal 18 ayat (5)).

• (3). Prinsip kekhususan dan keragaman daerah ( Pasal 18 A) ayat 1).

• (4). Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya ( Pasal 18 B) ayat 2).

• (5). Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat (1).

• (6). Prinsip badan perwakilan dip[ilih langsung dalam suatu pemilu ( Pasal 18 ayat (3).

• (7). Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara adil (Pasal 18 A ayat (2).

• Pengaturan Daerah Istimewa dalam UU

• 1. UU No. 1 Tahun 1945 ttg Kedudukan Komite Nasional Daerah.

• 2. UU No. 5 Tahun 1970 ttg Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah-à diganti

• 3. UU No. 22 Tahun 1999.

• UU Otoda khusus

• UU No. 18 Tahun 2001 ttg Otonomi Khusus bagi Propinsi DIY.

SUMBER :

SITI FATIMAH,SH., M.HUM, MATERI KULIAH HUKUM TATA NEGARA, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2010
Tags: HTN, HUKUM, HUKUM TATA NEGARA, MATERI KULIAH, OTONOMI DAERAH, TATA NEGARA
Komentar
LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN YANG DILARANG
Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH, UMUM by Muhammad Jamil — Tinggalkan komentar
26/11/2010

BY JAMIL



LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN YANG DILARANG

A. Penghalang Perkawinan (موانع النكاح)

Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan. Dalam surat Yasin ayat 36 disebutkan:

سبحان الذى خلق الازواج كلها مما تنبت الارض ومن انفسهم ومما لا يعلمون (يس: 36)

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dariapa yang tidak meeka ketahui”.

ومن كل شى خلقنا زوجين لعلّكم تذكرون (الذاريات: 49)

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.



Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tertentu karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan yang dalam fiqh munakahat disebut dengan mawani’ an-nikah.

Dimaksud dengan penghalang perkawinan atau mawani’ an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara keduanya.

Ibnu Rusyd membagi penghalang perkawinan menurut hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu: (1). Mawani’ muabbadah (موانع مؤبدة) = penghalang perkawinan yang bersifat selamanya, (2) Mawani’ gaeru muabbadah (موانع غير مؤبدة)= penghalang perkawinan yang bersifat sementara. Ada juga yang menyebut dengan istilah mahram muabbad (haram bersifat selamanya) dan mahram muaqqat (haram untuk sementara waktu). Dimaksud dengan penghalang perkawinan yang bersifat selamanya ialah sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan perkawinan. Adapun yang dimaksud dengan penghalang perkawinan yang bersifat sementara ialah larangan kawin antara laki-laki dan perempuan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu; suatu saat apabila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah maka tidak lagi dilarang.

Lebih lanjut Mawani’ muabbadah, dibagi lagi kepada: yang disepakati dan yang diperselisihkan. Adapun yang disepakati ada tiga, yaitu: (a) karena hubungan nasab, (b) karena hubungan musaharah, dan (c) karena hubungan persusuan, sedangkan yang diperselisihkan ialah: (a) penghalang karena zina, (b) penghalang karena sumpah li’an.

Mawani’ gaeru muabbadah ada 9, yaitu: (a) mani’u al-‘adad (penghalang karena bilangan isteri); (b) mani’u al-jam’u (penghalang karena permaduan); (c) mani’u ar-riqqi (penghalang karena perbudakan); (d) mani’u al-kufri (penghalang karena kekufuran); (e) mani’u al-ihram (penghalang karena sedang ihram); (f) mani’u al-marad (penghalang karena sakit,; (g) mani’u al-iddah (penghalang karena menjalankan iddah); (h) mani’u tatliqu salasan (penghalang karena talak tiga), dan (i). mani’u az-zaujiyyah (penghalang karena ikatan perkawinan).



Skema penghalang perkawinan



متفق عليها: نسب, صهر, رضاع

موانع مؤبدة

مختلف فيها: الزنا, اللعان

الموانع النكاح

موانع غير مؤبدة : (1) مانع العدد, (2) مانع الجمع, (3) مانع الرق,(4) مانع الكفر, (5) مانع الاحرام, (6) مانع المرض, (7) مانع العدة, (8) مانع التطليق ثلاثا, (9) مانع الزوجية

Uraiannya sebagai berikut

Perempuan yang haram dikawini untuk selamanya

1. Haram dikawini untuk selamanya dan disepakti oleh semua ulama ada tiga macam yaitu karena ada hubungan nasab, karena ada hubugan persemendaan (musaharah), dan karena ada hubungan persusuan (rada’). Mereka itu adalah para wanita sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22-23:

ولا تنكحوا مانكح اباؤكم من النسآء الاّ ما قد سلف … (22). حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم واخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الاخ وبنات الاخت وامهاتكم التى ارضعنكم واخواتكم من الرضاعة وامهات نسآئكم وربآئبكم التى فى حجوركم من النسآئكم التى دخلتم بهنّ فإن لم تكونوا دخلتم بهنّ فلا جناح عليكم وحلآئل ابنآئكم الذين من اصلابكم وان تجمعوا بين الاختين الاّ ما قد سلف ان الله كان غفورا رحيما (23)



a. Karena ada hubungan nasab. Dari ayat di atas, wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab ialah:

1). Al-ummahaat (ibu kandung), termasuk al-ummahat ialah ibunya ibu (nenek) dst ke atas.

2). Al-banaat (anak perempuan kandung), termasuk al-banaat ialah cucu perempuan dst ke bawah

3). Al-Akhawaat (saudara perempuan), baik saudari perempuan sekandung, seayah, amupun seibu

4). Al-‘ammaat (saudari perempuannya ayah), baik sekandung, seayah, maupun seibu

5). Al-khaalaat (saudari perempuannya ibu), baik sekandung, seayah, maupun seibu

6). Banaatul akhi (anak perempuannya saudara laki-laki/keponakan dari saudara laki-laki)

7). Banaatul ukhti (anak perempuannya saudari perempuan/keponakan dari saudari perempuan).



b. Karena ada hubungan musaharah. Adapun perempuan yang diharamkan karena ada hubungan musaharah (persemendaan) ialah:

1). Zaujatu al-abi (isteri ayah/ibu tiri): ولاتنكحوا ما نكح اباؤكم من النساء . Para fuqaha sepakat bahwa semata-mata akad (sekalipun belum terjadi hubungan seksual antara ayah dengan isterinya) sudah mengakibatkan keharaman menikahi ibu tiri.

2). Zaujatu al-ibni (steri anak/menantu): وحلآئل ابنآئكم الذين من اصلابكم . Para fuqaha sepakat bahwa semata-mata akad sudah mengakibatkan keharaman menikahi menantu

3). Ummu zaujiyyati (ibunya itseri/ibu mertua): وامهات نسآئكم

4). Bintu az-Zaujah (anak perempuannya isteri/anak tiri:

وربآئبكم التى فى حجوركم من النسآئكم التى دخلتم بهنّ فإن لم تكونوا دخلتم بهنّ فلا جناح عليكم

c. Karena ada hubungan persusuan (rada’ah). Adapun perempuan yang diharamkan karena ada hubungan persusuan (rada’ah) ialah seperti disebutkan dalam ayat di atas: وامهاتكم التى ارضعنكم واخواتكم من الرضاعة Rasulullah menjelaskan lebih lanjut dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari Muskim dari Ibnu Abbas:

يحرم من الرّضاع ما يحرم من النسبArtinya: “Menjadi haram karena hubungan susuan apa yang menjadi haram karena hubungan nasab”. Atas dasar ini maka wanita yang diharamkan di nikahi karena hubungan susuan ialah:

1). Ibu susuan, yaitu wanita yang menyusuinya, karena ia telah menyusuinya maka dianggap sebagai ibu dari yang menyusu. Masuk ke dalam ibu susun ini ialah nenek susuan, yaitu ibunya ibu yang menyusui ataupun ibunya suami ibu yang menyusui dst ke atas.

2). Anak susuan. Termasuk dalam anak susuan ialah anak yang disusukan olehnya, anak yang disusukan anak perempuan, dst. ke bawah

3). Saudara susuan. Termasuk dalam saudara susuan yaitu yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan oleh ibu susuan, yang dilahirkan istri ayah susuan, dst.

4). Bibi susuan. Termasuk dari bibi susuan sudari dari ibu susuan, saudari dari suami ibu susuan.

Berkaitan dengan persusuan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha tentang kadar air susu dan umur pada waktu menyusu yang menyebabkan keharaman kawin.

Tentang kadar air susu yang menyebabkan keharaman kawin:

1. Menurut Ali, Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab, Hasan Basri, al-Auza’iy, Abu Hanifah, Imam Malik: tidak ada batasan jumlah susuan yang mengakibatkan.keharaman kawin. Oleh karena itu menyusu banyak atau sedikit, beberapa kali atau hanya sekali mengakibatkan keharaman kawin.Pendapat ini berdasarkan kemutlakan menyusu, yakni selama suatu perbuatan dinamakan menyusus baik sedikit atau banyak, beberapa kali atau sekali berakibat haramnya kawin.

2. Abdullah ibnu Mas’ud, salah satu riwayat dari Aisyah, Abdullah ibn Zubair, Asy-Syafi’I, Imam Ahmad, Ibn Hazm berpendapat bahwa persusuan yang mengakibatkan keharaman kawin ialah tidak kurang dari lima kali secara terpisah-pisah.

3. Bahwa keharaman perkawinan sebab hubungan persusuan menjadi tetap dengan tiga kali menyusu atau lebih. Batasan ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:

لا تُحَرِّمُ المصَّـةُ وَلا المصَّتانِ

“Tidak menyebabkan keharaman kawin menyusu satu isapan atau dua isapan.”

Demikian pendapatnya Abu Ubaid, Abu Saur, Dawud ad-Dlahiri, dan satu riwayat dari imam Ahmad.

Mengenai umur waktu menyusu yang menyebabkan keharaman kawin ialah susuan yang terjadi dalam umur dua tahun. Batasan usia menyusu maksimal dua tahun ini ditunjuki oleh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233:

والوالدات يرضعن اولادهن حولين كاملين لمن اراد ان يتم الرّضاعة

Dalam umur dua tahun itu peranan air susu sebagai menguatkan badan dan menumbuhkan daging anak sehingga menjadilah anak itu bahagian dari ibu yang menyusuinya sehingga terjadilah hubugan keharaman kawin antara keduanya.

Diriwayatkan oleh ad-Daruqutni dari Ibnu Abbas, bahwa Rsulullah saw bersabda:

لاَرَضَاعَ إلاَّ فى الْحَوْلَيْنِ

Artinya: “Tidak ada susuan kecuali dalam usia dua tahun.”

Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan setelah berumur dua tahun, baik susuan itu sedikit maupun banyak berkedudukan seperti air biasa. Apabila anak sebelum umur dua tahun disapih dan dengan disapihnya itu tidak lagi memerlukan air susu, lalu setelah itu anak menyusu lagi, maka penyusuan itu tidak menyebabkan keharaman kawin.

Penghalang perkawinan karena susuan ini hendaknya diperhatikan sungguh-sungguh, hal ini karena di kampung-kampung masih sering terjadi seorang ibu tidak hanya menyusui anaknya, terkadang anak tetangganya yang diitipkan kepadanya, Jangan sampai terjadi seseorang tidak mengetahui saudara sesusuannya sehingga kelak antara keduanya kawin yang sebenarnya perkawinan antara keduanya tidak dibenarkan menurut hukum Islam. Demikian juga mengenai penyelenggaraan Bank ASI yang ada di beberapa tempat perlu mendapat perhatian dan ditangani dengan memperhatikan aspek hokum Islam mengenai rada’ah, sehingga tidak sampai terjadi seseorang mengawini saudara sesusuannya atau seseorang menikahi bibi susuan, ibu susuan, dst.



2. Penghalang perkawinan yang bersifat selamanya tetapi masih diperselisihkan oleh para fuqaha

a. Mani’u az-Zina (Penghalang perkawinan karena perbuatan zina). Dimaksud dengan mani’u az-zina di sini ialah bahwa perbuatan zina itu menjdi penghalang bagi perkawinan, sehingga diharamkan orang yang bersih dari zina mengawini wanita pezina. Dasar hukumnya ialah firman Allah surat an-Nur ayat 3:

الزانى لا ينكح إلاّ زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان او مشرك وحرم ذلك على المؤمنين (النور: 3)

Maksud ayat di atas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan wanita yang berzina, demikian pula sebaliknya. Para ulama berbeda pendapat tentang haram atau tidaknya laki-laki mu’min mengawini wanita pezina. Penyebab perbedaan pendapat dalam masalah ini ialah apakah larangan dalam ayat 3 surat an-Nisa di atas sebagai celaan atau menunjukkan keharaman. Lebih lanjut, apakah lafadz dzalika dalam firman Allah di atas (wa hurima dzalika) itu menunjuk kepada zina atau nikah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa bahwa ayat 3 surat an-Nisa’ itu menunjukkan dzam (celaan) bukan mengharamkan. Hal ini harus dihubungkan dengan hadits yang menerangkan bahwa seorang sahabat menghadap Nabi dan mengemukakan bahwa isterinya tidak menolak tangan laki-laki lain yang memegangnya , kemudian Nabi memerintahkan agar isteri yang demikian itu dicerai saja. Sahabat menjawab bahwa ia masih mencintainya. Kemudin Nabi menyuruh agar isteri yang demikian itu tetap dipelihara……

b. Mani’u Li’an (Penghalang perkawinan karena sumpah li’an). Sumpah li’an yaitu sumpah yang dilakkan oleh suami terhadap isterinya karena suami menuduh isterinya berbuat zina dengan laki-laki lain atau suami mengingkari kehamilan isteri dari perbuatannya. Tuduhan zina atau pengingkaran kehamilan itu dilakukan dengan cara suami mengucaqpkan empat kali dan sumpah/peraksian dan sumpah yang kelima disertai sumpah bahwa tuduhnnya itu benar, suami bersedia menerima laknat Allah kalau jika tuduhannya itu bohong. Atas tuduhan suaminya itu, isteri dapat terbebas dari sanksi pidana zina apabila ia mau bersumpah empat kali bahwa tuduhan suaminya itu bohong dan sumpahnya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima murka Allah jika tuduhan suaminya itu benar. Dasar hukum sumpah li’an ialah firman Allah surat an-Nur ayat 6-8:

الذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إلا انفسهم فشهادة احدهم اربع شهادات بالله ….

Setelah terjadi prosesi mula’anah (saling meli’an) antara suami isteri, maka terputuslah perkawinan mereka. Setelah putus perkawinan itu apakah suami yang telah meli’an isterinya itu masih mungkin kembali kepada isterinya dengan akad perkawinan yang baru, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur fuqaha, di antaranya imam Malik, imam asy-Syafi’I, as-Sauri, berpendapat bahwa percerian antara keduanya bersifat selamanya sehingga antara keduanya tidak diperbolehkan kawin untuk selamanya. Mereka beralasan dengan hadis Nabi:

فرق رسول الله صلعم بين المتلاعنين وقال حسبكما على الله احدكما كاذب لاسبيل

“Rasulullah saw telah menceraikan di antara dua orang yang saling meli’an dan bersabda “perhitunganmu diserahkan kepada Allah, salah seorang di antaramu adalah pembohong, tidak ada jalan cara untukmu kembali keadanya”.

Sementara itu imam Abu Hanifah berpendapat bahwa antara keduanya bisa kembali membangu perkawinan apabila salah seorang di antara keduanya mencabut sumpah li’annya.

Perempuan yang haram dikawini untuk sementara waktu

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perempuan yang diharamkan untuk sementara waktu ada 9 . Akan tetapi tidak semua harus dijelaskan karena yang dulu dilarang, sekarang sudah tidak ada lagi wujudnya, seperti perbudakan.

1. مانع العدد (penghalang perkawinan karena bilangan isteri).

Dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat yang berat dibolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yaitu dua, tiga, dan maksimal empat orang. Apabila seorang laki-laki sudah beristeri empat orang, maka tidak diperbolehkan untuk menambah isteri lagi. Dengan demikian yang dimaksud dengan penghalang perkawinan karena jumlah isteri ialah ketika seorang laki-laki sudah beristeri empat orang maka perempuan yang manapun haram untuk dijadikan isteri yang kelima, karena batas maksimal poligami adalah empat orang iseri, hal ini sebagamana disebutkan dalam firman Allah:

… وإن خفتم آن لا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب من النسآء مثنى وثلاث ورباع… (النسآء: 3)

2. مانع الجمع (penghalang perkawinan karena permaduan).

Diharamkan laki-laki memadu antara dua orang perempuan bersaudara dalam satu waktu yang bersamaan. Apabila mengawini mereka secara berganti-ganti, umpama seorang .laki-laki menikahi seorang wanita tetapi kemudian isterinya itu meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu boleh menikahi adik atau kakak mantan isterinya Tidak diperbolekan juga mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya (‘ammah maupun khalah). Larangan mengumpulkan dua orang wanita yang mempunyai hubungan nasab dalam satu perkawinan, seperti disebutkan di atas adalah didasarkan kepada:

a. Surat an-Nisa’ ayat 23 di atas: وأن تجمعوا بين الاختين

b. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah:

أن النبىّ صلعم نهى أن تجمع بين إمرأةٍ وعمّتها وبين أمرأةٍ وخالتها

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang mengumpulkan (sebagai isteri) antara seorang wanita dengan ‘ammahnya dan antara seorang wanita dengan khalahnya.”

3. مانع الكفر (penghalang perkawinan karena kekafiran).

Wanita muslimah hanya boleh kawin dengan laki-laki muslim dan tidak boleh kawin dengan laki-laki kafir. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Mumtahanah ayat 10. Selain itu wanita muslimah yang dikawinkan dengan laki-laki kafir akan menggoyahkan aqidah, membahayakan agama si wanita karena biasanya wanita mengikuti suaminya, termasuk mengikuti agama suami dan suami akan menariknya kepada kekafiran. Laki-laki muslim dibolehkan kawin dengan perempun muslimah atau kitabiyah, tidak boleh menikah dengan wanita kafir atau musyrikah.

4. مانع الاحرام (penghalang perkawinan karena ihram)

Orang yang sedang ihram haji ataupun umrah tidak boleh mengadakan akad nikah, baik untuk dirinya ataupun orang lain. Aqad nikah yang dilakukan pada waktu ihram menjadi batal. Hal ini didasarkan kepada hadis riwayat Muslim, bahwa Rasul bersabda:

لا يَنْكَحُ المحرمُ ولا يُنْكح ولا يخطب

Artinya: “Orang yang sedang ihram tidak boleh kawin, mengawinkan, dan meminang.”

Yang berpendapat bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan akad nikah, tidak boleh menikahkan ialahUmar bin Khattab, Ali, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, asy-Syafi’I, Ahmad. Adapun ulama Hanafiyah membolehkan mengadakan akad perkawinan ketika sedang ihram, yang tidak diperbolehkan ialah melakukan hubungan seksual selama ihram.

5. مانع العدة (penghalang perkawinan karena menjalani iddah)

Wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati haram dikawini berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 228 dan ayat 234

6. مانع الزوجية (penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan).

Yang dimaksud dengan penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan bahwa perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan dengan seorang laki-laki haram dikawini oleh siapapun. Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar baik secara jahr, terus-terang ataupun secara sindiran, meskipun dengan janji akan dikawini apabila nanti diceraikan dan sudah habis iddahnya. Keharaman ini berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai. Setelah suaminya mati atau telah diceraikan, maka ia boleh dikawini oleh siapa saja. Keharaman mengawini perempuan yang sedang bersuami ini didasarkan kepada firman Allah surat an-Nis ayat 24:

والمحصنات من النسآء إلا ما ملكت ايمانكم

Dari ayat di atas menutup kemungkinan berlakunya perkawinan poliandri dalam Islam



B. Perkawinan yang Dilarang

Berdasarkan berbedanya motivasi melakukanp perkawinan atau karena bermacam-macamnya prosedur dan proses terjadinya perkawinan, maka terdapat beberapa bentuk perkawinan yang berbeda-beda sifatnya. Bentuk perkawinan itu ada yang sesuai dengan ketentuan syara’ ada juga yang tidak sesuai yang karenanya tidak boleh dilakukan dan kalau sudah berlangsung, perkawinan harus dibatalkan. Ada beberapa bentuk perkawinan yang dilarang oleh Islam, yaitu:



1. نكاح الخدن yaitu suatu bentuk perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan secara diam-diam, sembunyi-sembunyi, tidak melalui peminangan, tanpa ijab qabul, dan tanpa mahar, melainkan secara lagsung antara keduanya hidup bersama sebagai suami isteri. Pada masyarakat Indonesia, perkawinan yang demikian disebut “kumpul kebo”. Nikah al-khidn terjadi pada masa jahiliyah dan kemudian dibatalkan oleh Islam, sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 25, al-Maidah ayat 5

2. نكاح البدل yaitu bentuk perkawinan yang terjadi dengan cara tukar menukar isteri, misalnya seorang laki-laki yang sudah beristeri menukarkan isterinya dengan isteri laki-laki laian, dengan menambah sesuatu. Perkawinan jenis ini terjadi ada masa jahiliyah dan selanjutnya dibatalkan oleh Islam.

3. نكاح الاستبضاع yaitu suatu perkawinan sementara yang terjadi antara seorang isteri yang telah bersuami dengan laki-laki lain untuk mengambil benihnya. Apabila si wanita telah hamil, ia diambil kembali oleh suaminya. Motif perkawinan demikian adalah untuk memperoleh anak yanh cerdas. Bentuk perkawinan seperti ini terjadi apada jaman jahiliyah kemudian dibatalkan oleh Islam.

4. نكاح المتعة yaitu perkawinan ntuk sementara waktu, yaitu suatu bentuk perkawinan yang dalam akad perkawinannya dinyatakan bahwa perkawinan itu berlaku untuk beberapa waktu tertentu, seperti satu tahun, satu bulan, dan sebagainya. Oleh karena itu pula nikah mut’ah bisa disebut dengan nikah mu’aqqat (nikah yang ditentukan waktu berlakunya).

Tentang nikah mut’ah ini pernah Rasulullah beberapa kali memberikan rukhsah, kemudian oleh beliau diharamkan untuk selamanya. Jumhur ulama menetapkan keharaman nikah mut’ah, tetqapi golongan Syi’ah membolehkannya.

Dalam nikah mut’ah dilihat dari unsure nikah tidak ada rukun yang dilanggar, akan tetapi dari segi persyaratan ada yang tidak terpenuhi, yaitu ada masa tertentu bagi umur atau waktu perkawinan sebagai batasan waktu, sedangan tidk adanya masa tertentu merupakan salah satu syarat dari akad perkawinan.

5. نكاح التحليل yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang ditalak tiga oleh suaminya. Perkawinan ini dimaksudkan agar setelah isteri ditalak oleh suami kedua dapat kawin lagi dengan suami pertama . Dengan demikian nkah tahlil bertujuan menghalalkan bekas isteri kawin lagi dengan bekas suaminya yang telah mentalak tiga.Pernikahan tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan, akan tetapi karena niat orang yang mengawini itu tidak ihlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, perkawinan tahlil ini dilkarang oleh Nabi dan pelakunya, baik laki-laki yang menyuruh kawin (muhallal lahu) atau laki-laki yang menjadi penghalal (muhallil) dilaknat oleh Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam hadis:

لَعَنَ رسولُ الله صلعم اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لََهُ

“Rasulullah saw melaknat muhallil (orang yang disuruh kawin) dan muhallal lahu (orang yang menyuruh kawin)”

6. نكاح الشعار yaitu perkawinan dengan cara seorang laki-laki (wali) mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki lain dengan syarat lelaki itu mengawinkan anak perempuannya dengan dia tanpa adanya mahar. Nikah syigar merupakan tukar menukar anak peremuan tanpa maskawin. Yang tidak terdapat dalam perkawinan demikian ialah mahar dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu nikah syigar dilarang oleh Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis:

نهى رسو ل الله صلعم عن الشغار

“Rasulullah saw melarang perkawinan syigar”

——–
Tags: hubungan nasab, ISLAM, Mani’u Li’an, NIKAH, PENGHALANG PERKAWINAN, Perempuan yang haram dikawini untuk sementara waktu, PERKAWINAN, PERKAWINAN YANG DI LARANG
Komentar
Konvensi Jenewa 1949
Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH by Muhammad Jamil — Tinggalkan komentar
27/05/2010

Konvensi Jenewa 1949 yang dihasilkan pada tanggal 12 Agustus 1949
*

Ketentuan manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ? Siapakah yang menentukan hal ini ?
*

2. Apabila dalam sengketa bersenjata non-internasional yang diberlakukan adalah Protokol II, apakah ada jaminan bahwa “pemberontak” akan mematuhi Protokol itu ? (Kekhawatiran ini pantas dikemukakan karena para pemberontak bukanlah pihak pada Konvensi Jenewa dan Protokol). Bagaimanakah bila mereka tidak mentaati ketentuan pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol ?
* Konvensi Jenewa 1949
*

pranata hukum internasional yang pada pokoknya mengatur cara memperlakukan tentara yang cedera, sakit atau mengalami kecelakaan di medan perang. Konvensi ini disepakati pada 12 Agustus 1949 di Jenewa, Swiss.
*

Pada tahun 1977, sejumlah negara sepakat membuat aturan tambahan terhadap Konvensi itu, kemudian dikenal sebagai Protokol Tambahan I tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional.
*

Juni 2007, sudah 167 negara yang meratifikasi Protokol Tambahan I dan 163 negara yang meratifikasi Protokol Tambahan II. Amerika Serikat adalah negara yang hingga kini belum meratifikasinya.
*

Indonesia sendiri adalah negara pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, sehingga berkepentingan meratifikasi Protokol Tambahan tersebut. Rencana ratifikasi kedua protokol kala itu ditandai dengan pembentukan Panitia Tetap Hukum Humaniter yang langsung diketuai Menteri Hukum dan HAM.


Protokol Tambahan Konvensi Jenewa

a. Protokol Tambahan I Tahun 1977

*

dibentuk karena metode perang yang digunakan oleh negara-negara telah berkembang, dan tata cara berperang (Conduct of War).
*

Protokol ini menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, juga dilarang menggunakan senjata atau proyektil senjata serta alat-alat lainnya yang dapat mengakibatkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

Beberapa ketentuan pokok dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 antara lain sebagai berikut:

1.

Melarang serangan yang reprasial dan membabi buta terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, benda-benda budaya dan tempat-tempat religius, bangunan dan instalasi berbahaya, dan lingkungan alam.
2.

Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer.
3.

Menentukan kewajiban bagi pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang (Missing Persons).
4.

Menegaskan ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief suplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil.
5.

Memberikan perlindungan terhadap kegiatan organisasi pertahanan sipil.
6.

Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter internasional.

*

Protokol Tambahan II Tahun 1977
*

terbentuk karena pada kenyataan konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II merupakan konflik yang bersifat non-internasional. Hanya satu ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional yaitu Pasal 3 Common Articles. Meskipun telah sangat rinci termuat dalam pasal tersebut, namun dianggap belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik-konflik internasional semacam itu.
*

Protokol Tambahan II Tahun 1977 menentukan hal-hal sebagai berikut:

1.

Mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
2.

menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil;
3.

memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan;
4.

melarang dilakukannya tindakan starvasi secara sengaja.
Protokol Tambahan II tahun 1977 juga menentukan bahwa orang-orang yang terluka harus dilindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas kepada mereka yang secara resmi berhak memakainya.

Ketentuan mana yang berlaku ?

*

Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, dari penjelasan pada tulisan sebelumnya, maka apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3 Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja.

Siapakah yang menentukan ?

* Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka Protokol tidak menentukan ketentuan manakah yang berlaku. Tidak ada pula ketentuan dalam hukum humaniter lainnya yang mengatur hal ini. Namun beberapa pendapat ahli mengatakan: Menurut Alberto Muyot :[4]
*

“… melihat kepada pertimbangan umum negara-negara bahwa mereka menyatakan tidak ada suatu otoritas pun yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol dapat berlaku mengikat pada suatu situasi tertentu, maka konsekuensinya, Pemerintah dari negara di mana terjadi sengketa bersenjata non-internasional ini harus menggunakan haknya untuk menyatakan apakah kekerasan yang terjadi itu telah mencapai suatu intensitas yang diperlukan, untuk menerapkan Protokol ini”

Menurut Fritz Kalshoven :[5]

*

“Terdapat pula pertimbangan umum yang menyatakan bahwa tidak satu pun otoritas yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol berlaku untuk suatu situasi tertentu. Oleh karena itu, hal ini lebih banyak tergantung kepada iktikad baik pemerintah negara yang bersangkutan, atau pula pada tekanan dunia luar”.
*

Dengan melihat ke dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menentukan hukum manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional adalah : Pemerintah dari negara yang bersangkutan.
* Namun, sebagaimana diungkapkan di awal bagian ini, bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara enggan memberlakukan Protokol dengan mengajukan berbagai alasan. Keengganan ini dikarenakan kekhawatiran negara bahwa pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerent kepada pemberontak.

Adakah jaminan bahwa pemberontak mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ?

*

persoalan hukum di atas telah terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik tersebut.
*

Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka adalah sebagai penjahat biasa.

SUMBER:

Nurainun Mangunsong, SH., M.Hum, 2010, MATERI KULIAH HUUM DAN HAM PRODI ILMU HUKUM, FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Tags: Alberto Muyot, KONVENSI JENEWA, Konvensi Jenewa 1949, meratifikasi, Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II
Komentar
KEBEBASAN HAM BERAGAMA INTERNAL DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM
Filed under: HUKUM, MATERI KULIAH by Muhammad Jamil — Komentar Dimatikan
21/05/2010

Abstrak

Amandemen UUD 1945 dan Hukum Islam telah mengatur secara luas kebebasan beragama seseorang akan tetapi dalam realitasnya persekusi kehidupan beragama seringkali terjadi. Kesenjangan antara konstitusi dan pluralitas teologi sosial dituding sebagai akar kekerasan beragama yang ikut memicu pelanggaran HAM. Dibutuhkan aturan sebagai penjelasan Pasal 28J agar implementasi keberagamaan dapat dilindungi.

Kata kunci: HAM Beragama, konstitusi, dan hukum Islam.

Pendahuluan

Perbincangan tentang hak asasi manusia (HAM) selalu menarik dan mengundang kontroversi dalam perjalanan dinamika kenegaraan. Di mulai sejak zaman Yunani kuno, perbincangan HAM melekat erat dalam makna filosofi dan universal hakekat pendirian sebuah negara yang tidak lain menjamin keutuhan sosial (kolektivisme HAM) demi kebahagiaan dan kesejahteraan warganegaranya.[1] Menyusul zaman Romawi, HAM mengalami dinamika pasang surut diakibatkan oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan di satu sisi dan imperium kekuasaan di sisi yang lain yang tak dapat menghindari peperangan dan sistem perbudakan. Namun di era ini, Cicero mulai memperkuat benih-benih rationalisme dalam negara yang diperolehnya dalam postulat Hukum Alam Kodrati melalui ajaran kaum Stoa. Menurutnya, pendirian sebuah negara harus bersesuaian dengan dalil-dalil atau asas-asas Hukum Alam Kodrati yang bersumber dari Budi Illahi yang berisi kesusilaan yang universal termasuk di dalamnya adalah HAM.[2] Aliran belakangan ini banyak mempengaruhi pemikir-pemikir Eropa di era selanjutnya utama terkait dengan hakekat Hukum Antar Bangsa seperti Hugo de Groot (Abad XVIII). Baru kemudian di era Enlightment atau Renaissance (Abad XIV-XVI) proses pembebasan individu dari kegelapan atau keterikatan agama (gereja), alam, dan tradisinya terjadi sangat radikal. Eksistensi kebebasan manusia secara universal dikukuhkan lewat potensi akalnya sebagai karunia Illahi yang tak lagi dapat dibelenggu oleh sistem ortodoksi agama atas nama Tuhan. Ada dikotomi yang jelas antara posisi dan peran manusia dalam urusan kenegaraan melalui pelembagaan[3] hukum dalam mengatur tatanannya dan agama dalam urusan akhirat melalui agamawan untuk menegakkan moral etik manusia. Basis sosio-kultural yang sekuleristik ini menjadi mercusuar HAM dan trayek yang dilalui dunia Eropa sebagaimana dikatakan Baehr sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, de Bescherming van de individu tegen de eisen van de samenleving.[4]

Meninggalkan tiga abad sebelumnya yakni abad yang dikenal dengan Dark ages (Abad V-X), Middle Ages (Abad XII-XV), dan Enlightment (Abad XIV-XVIII) di atas, perubahan dan transformasi HAM masih terus berlangsung memasuki Abad Modern (Abad XIX). Namun Di era ini, HAM lahir bukan dari rahim pergerakan akar rumput dan kelompok cendekia melainkan dari kaum Borjuis yang mulai banyak berperan dalam konstelasi ekonomi politik di tengah melemahnya negara akibat perpecahan. Besarnya pengaruh kaum Borjuis dalam menjamin survive-nya negara, sementara dalam ranah hukum mereka sama sekali tidak memperoleh tempat (jaminan hak milik, kebebasan, persamaan di depan hukum dan kepastian) yang layak sehingga momen ini mereka paksakan untuk mencuri satu ruang dalam tatanan hukum negara. Perjuangan itu berhasil menempatkan kaum borjuis sebagai salah satu konstituen negara dan merubah orde hukum menjadi jaminan HAM bagi “setiap orang”.

Arti sejarah ini adalah bahwa HAM memiliki korelasi dengan habitat sosio-kulturalnya. Akar teoritisnya berawal di Eropa yang mengalami kristalisasi mulai era Enlightment di bawah bidan kelompok kapitalis yang selanjutnya membawa perubahan penting dalam tatanan hukum dan politik negara sebagaimana disebut dengan laissez fairer/ laissez aller yang mencerminkan tuntutan kebebasan untuk bertindak dan menolak campur tangan negara (individualistik dan sekuler). Karena itu, bagi negara-negara Eropa, HAM adalah prinsip universal dan konstitusional sebab sesuai dengan nilai sosio-kultural ideologi masyarakatnya. Maka di era Pascamodern ini terlihat adanya upaya negara-negara Eropa yang dimotori oleh negara-negara maju untuk meregulasikan HAM sebagai instrumen hukum Internasional bersamaan dengan penetrasi kekuasaannya ke wilayah negara-negara Asia dan Afrika.[5]

Keinginan untuk menstandarisasikan HAM sebagai prinsip universal dan berlaku bagi semua negara di dunia tentu menimbulkan masalah. Sebab, masing-masing negara memiliki latar sosio-kultural yang berbeda khususnya bagi negara-negara berkembang, komunal, dan religius seperti Indonesia. Sejarah mencatat, bahwa sejak awal perumusan UUD 1945 dalam Majelis Sidang BPUPKI (Badan Penyidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah terjadi perdebatan hangat antara kubu yang memperjuangkan HAM sebagai bagian intrumen UUD yakni kubu M.Yamin dan Moh. Hatta di satu pihak dan kubu yang menolak HAM karena menganggap itu sangat individualistik dan kolonialistik, dan tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia yakni kubu Soepomo dan Soekarno di pihak lain. Namun perdebatan itu berakhir dengan kompromis, dengan memodifikasikan HAM sesuai dengan latar sosio-kultural dan ideologi masyarakat Indonesia yang komunalistik.[6] Jadilah pemuatan HAM dalam Batang Tubuh UUD 1945 bersifat partikularistik ketimbang universalistik.

Di sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa tolak tarik dan pasang surut penerimaan HAM oleh negara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang mengitarinya. Di negara-negara totaliter HAM direduksi dan sengaja dibuat absurd. Sementara, dalam iklim negara yang mengalami transisi dari totaliter menuju demokrasi, HAM diresepsi secara luas dan seringkali euforia kebebasan melupakan alas sosio-kultural dan ideologi masyarakatnya. Alhasil dalam implementasi HAM seringkali terjadi anomali sistem dan caos di tingkat akar rumput.

Sama halnya yang terjadi di Indonesia, pertama-tama bahwa tolak tarik HAM lebih dilatarbelakangi oleh nilai sosio-kultural masyarakat. Namun seiring dengan perubahan konfigurasi politik yang ada HAMpun mengalami perubahan. Seperti yang terlihat dalam konstelasi politik transisi dari 1949 (KRIS) ke 1950 (UUDS), perubahan sistem pemerintahan dari Quasi Presidensial ke Quasi Parlementer cukup memberi arti bagi pemuatan HAM dalam konstitusi. Di era ini, M. Yamin bahkan menegaskan dengan penuh suka cita bahwa KRIS dan UUDS adalah konstitusi-konstitusi yang paling berhasil memuat HAM sesuai deklarasi PBB 1948.[7] Kemudian HAM mengalami surut pada pasca Demokrasi Terpimpin 1959 sampai Orde Baru (1966-1998). Dan mengalami pasang kembali pada Orde Reformasi yang ditandai dengan Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.

Reformasi merupakan era gelombang pasang HAM di Indonesia. Amandemen UUD 1945 telah mengacu pada sekian prinsip kebebasan beragama hasil ratifikasi kovenan internasional mengenai HAM. Landasan konstitusional ini lebih lanjut diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di antaranya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.

Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29). Dan dipertegas lagi dengan Pasal 28E dan 29 ayat (2) yang intinya menyatakan, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan; dan negara menjamin kemerdekaan bagi penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.” Pasal-pasal ini mengisyaratkan kewajiban negara untuk menjamin HAM beragama dan HAM setiap orang termasuk jama’ah dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

Di dalam Hukum Islam, sebenarnya telah ditegaskan adanya HAM beragama dan larangan sikap tindak pemaksaan yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Kafirun, bagaimana membangun HAM dalam keberagamaan dan menjalin relasi sosial agama yang toleran. Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat (256) menjelaskan adanya larangan pemaksaan dalam agama karena Allah sendiri secara sunnatullah telah menciptakan perbedaan dan keragaman itu. Allah telah mencukupkan penjelasanannya dalam Al-Quran mana yang benar dan yang bathil. Karena itu, Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilihnya dengan segala konsekuensi yang ada. Indikator kemuliaan hanya ditentukan oleh kadar ketaqwaan seseorang di sisi-Nya.

Namun ironisnya dari sekian lengkap landasan konstitusional perundang-undangan yang ada, konflik keberagamaan secara internal terkait dengan pelaksanaan ibadah sesuai keyakinan dan kepercayaan di Indonesia masih mengalami persekusi dari kelompok Islam yang lain. Catat saja kasus yang terjadi pada sejumlah pengikut Ahmadiyah JAI di Lombok, Kuningan, Parung Bogor berikut juga tempat-tempat peribadatan, pendidikan, dan rumah-rumah penduduk; Darul Arqom; NII Ma’had Az-Zaytun; Baha’i; Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII); Gerakan Syi’ah di Indonesia; Salamullah;[8] Alqiyadah; dan Laila Eden. Disayangkan di tengah kecamuk konflik itu negara tidak berperan optimal dan bersikap tegas sehingga menimbulkan konflik yang berlarut-larut tanpa kepastian. Persoalan ini membuktikan bahwa mengatur persoalan keberagamaan secara internal khususnya terkait dengan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan lebih sulit ketimbang mengatur pola keberagamaan secara eksternal. Apakah kesulitan ini terkait dengan garis persinggungan tafsir atas teks-teks Nash yang kebenarannya seringkali dimonopoli secara politik oleh ortodoksi Islam yang mapan dalam ranah negara. Apakah kesulitan ini semakin diperkeruh oleh penetrasi Islam politik yang mencoba merehistorisasi Islam secara institusional. Karena bagaimanapun juga Islam politik yang terinstitusional ke dalam ranah negara akan membentuk elit atau hegemoni ortodoksi yang membawa dampak terhadap unitaris keyakinan. Atau dengan kata lain institusionalisasi Islam politik seringkali menafikan pluralisme dalam konteks pelaksanaan keyakinan.

Dari, penelusuran di atas Penulis memandang urgen untuk mengkaji pelaksanaan hak kebebasan beragama seseorang dalam melaksanakan keyakinannya di Indonesia baik menurut konstitusi Amandemen UUD 1945 dan Hukum Islam. Pendekatan integrasi ini sangat penting dilakukan mengingat di lapangan seringkali antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain saling klem kebenaran (truth claim) dan tuding-menuding sesat dan kafir. Konflik keberagamaan internal yang sarat politik dan transendental keyakinan ini harus dicari solusinya agar korban pengkafiran dan kekerasan fisik tidak berkepanjangan dan menelan korban, dan khittoh konstitusi yang menjamin pluralisme dan integrasi sosial bisa dibangun.

Historis Perubahan HAM dalam UUD 1945

Dari sudut teori ilmu hukum, sejarah, maupun prinsip, persoalan Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM (human rights) adalah persoalan fundamental konstitusi dan ruh serta jiwa kehidupan konstitusional.[9] Pendasaran HAM secara rasional dalam negara hukum yang memegang teguh prinsip konstitusionalisme dan demokrasi didasarkan atas martabat manusia[10] sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus dihormati, merdeka, bebas, diperlakukan sama, tidak boleh ditindas, disiksa dan diperlakukan tidak adil oleh bentuk kekuasaan atau proses peradilan apapun yang dapat mengurangi eksistensinya sebagai manusia.

Sejak perumusan awal UUD 1945 oleh the founding fathers and mothers kita yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Mei 1945 telah terjadi perdebatan hangat mengenai materi perumusan HAM antara kubu Moh. Yamin dan Hatta di satu sisi, dan kubu Soekarno dan Soepomo di sisi yang lain. Perdebatan itu berkisar, perlukah HAM dirumuskan secara limitatif ke dalam konstitusi agar lebih menjamin perlindungan hak-hak warga yang kodrati secara kongkret oleh negara. Bagi Soekarno dan Soepomo, hak asasi warga sebagai manusia harus ditempatkan dalam bandul semangat komunalis atau integralisme antara negara dan rakyat. Karena itu, penjabaran HAM cukup partikularistik. Sedangkan bagi Moh. Yamin dan Hatta, penjabaran HAM secara tegas dan limitatif adalah satu keharusan dalam sistem negara konstitusional dan demokrasi yang ingin melindungi hak-hak warga dari sikap-sikap ataupun watak negara yang totaliteristik.[11] Namun di tengah keadaan abnormal dan mendesak pada saat itu tidak memungkinkan para perumus untuk berpikir panjang dan ideal ke depan dan akhirnya disepakati jalan tengah yakni tetap memasukkan rumusan HAM tetapi dalam substansi yang partikuralistik sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 27, 28, 29, 31, 33, dan 34 UUD 1945. Rumusan-rumusan HAM tersebut hanya meliputi sebagian hak-hak asasi manusia yang ada dan sangat pokok sehingga dalam ketentuan pasalnya memberikan atribusi pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan perundang-undangan yang lain sesuai kehendak Pemerintah. Tidak pernah terbayang oleh para perumus pada saat itu kalau perumusan HAM yang partikularistik demikian akan direduksi oleh rezim penguasa yang memerintah. Karena perumus sendiri merumuskan HAM dalam UUD 1945 dalam suasana jiwa kenegarawanan yang cinta negara, Tanah Air, dan bangsa.

Dalam perkembangan berikutnya pengaturan HAM mengalami pasang naik dan pasang surut seiring dengan konfigurasi politik yang mengitarinya. Sebagaimana dikatakan Moh. Mahfud[12] dalam disertasinya yang telah dibukukan Politik Hukum di Indonesia, bahwa dalam sistem politik yang demokratis yang ditandai oleh kemandirian parlemen dan kontrol terhadap keputusan-keputusan Pemerintah maka dapat dipastikan HAM terjamin dan terlindungi. Indikator ini ditegaskan oleh Moh. Mahfud terlihat dengan adanya kebebasan Pers. Sebaliknya, bahwa dalam sistem politik yang otoriter yang ditandai oleh ketidakmandirian parlemen akibat campur tangan Pemerintah yang terlalu besar maka dapat dipastikan HAM tereduksi dan tereksploitasi. Tesis Moh. Mahfud ini tampak relevan jika kita lihat dalam periodeisasi pemerintahan Indonesia selama ini. Catat saja, pada periode 1945-1947 (Orde Proklamasi) tampak Pemerintah menjamin sepenuhnya HAM; periode 1947-1950 (Orde Demokrasi Parlementer), sistem politik parlementerisme yang liberal sangat menjunjung tinggi HAM; periode 1959-1966 (Orde Demokrasi Terpimpin), sistem politik integralisme atau totaliterisme tidak menjamin perlindungan HAM secara utuh; periode 1966-1998 (Orde Baru), sistem politik totaliterisme atas nama pembangunan ekonomi membuat Pemerintah pragmatis untuk mereduksi HAM.
Dalam banyak kasus pelanggaran HAM di era Orde Baru, dosa-dosa sejarah kemanusiaan tampak tak terlihat bahkan sulit diadili sampai sang Rezim meninggal dunia. Kesulitan pelacakan kasus dan penindakan bagi si pelanggar disebabkan kepiawaian Soeharto menggunakan regulasi pada setiap kebijakan pembangunan sehingga kerja buruk dan kasar ini terlihat bersih dan halus atau bahkan demokratis dan konstitusional meski eksesnya berdampak pada HAM dan sejatinya melanggar hukum.[13] Di samping itu, Soeharto diuntungkan oleh ketiadaan lembaga judicial review atau hak uji material atas produk perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar sehingga undang-undang yang notabene melanggar HAM tidak dapat diganggu gugat.[14] Dan, jika pun ada pada saat itu, lembaga judicial revew baru sebatas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. Namun sayang peran MA sendiri tidak optimal karena secara sistemik di bawah eksekutif. Lebih lengkapnya Moh. Mahfud menegaskan bahwa secara yuridis dan politik otoriterisme Soeharto di-back up oleh beberapa kelemahan UUD 1945 antara lain:[15] pertama, pemberian kekuasaan eksekutif yang terlalu besar tanpa disertai prinsip checks and balances yang memadai, sehingga yang terlihat UUD 1945 lebih menonjolkan executive heavy. Kedua, rumusan materi UUD 1945 sangat sederhana, singkat, dan umum bahkan tidak jelas sehingga mengundang berbagai penafsiran. Selama konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden selama itu pula monopoli kebenaran penafsiran berada di tangan Presiden. Ketiga, UUD 1945 menekankan spirit penyelenggara negara tanpa mengalkulasikan kecenderungan-kecenderungan negatif penyelenggara negara tersebut. Keempat, UUD 1945 tidak mengelaborasikan lebih luas nilai dan prinsip-prinsip konstitusionalisme. Kelima, UUD 1945 memberikan atribusi yang terlalu besar kepada Presiden untuk mengatur berbagai hal penting dengan Undang-undang, sementara sistem dan mekanisme judicial review (JR) Undang-undang terhadap UUD oleh badan kehakiman sama sekali tidak diberikan. Akibatnya, banyak Undang-undang yang secara substansi hanya menguntungkan pembuatnya atau bertentangan dengan norma dasar di atasnya (UUD 1945 dan Tap MPR), tetapi tidak dapat dilakukan JR.
Dari kelemahan sistem yang bersifat fundamen itu maka langkah antisipasif utama yang dilakukan adalah amandemen UUD 1945 yang meliputi: pertama, perubahan struktur kekuasaan yang sebelumnya berbasis distribution of power ke arah separation of power. Dalam prinsip itu tidak lagi dikenal pembagian kekuasaan yang bersifat superior dan inferior dimana konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, melainkan pemisahan kekuasaan dengan kedudukan tugas dan fungsi masing-masing organ (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sejajar atau berimbang. Dalam prinsip itu memungkinkan terwujudnya hubungan checks and balances masing-masing lembaga.
Kedua, perubahan materi berkaitan dengan HAM. Apabila disimak penjelasan dan pembahasan amandemen kedua UUD 1945 bidang HAM yang disampaikan antar fraksi dalam quorum Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (Sidang Tahunan 2000) dapat disimpulkan bahwa seluruh fraksi menginginkan agar amandemen kedua UUD 1945 dapat menghasilkan rumusan HAM lebih lengkap dan sempurna. Seluruh fraksi yang diwakili oleh juru bicara masing-masing menghendaki agar amandemen materi HAM dapat mengacu pada Undang-undang Dasar, peraturan dasar atau Undang-undang terdahulu, yakni K-RIS (yang memuat 41 pasal), UUDS 1950 (memuat 30 pasal), badan Konstituante (menghasilkan 53 butir), Tap MPR No. XVII/MPR/ 1998 tentang HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menginginkan HAM, dengan beberapa perbaikan atau penambahan. Beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan pembentukan materi HAM adalah sebagai berikut.[16]
Pertama, kesepakatan yang bersifat internasional dan perkembangan pembahasan berbagai kesepakatan yang bersifat nasional. Prinsip-prinsip dasar hasil dari kesepakatan internasional, berasal dari:

a) Declaration of human rights 1948;

b) Convenant hak sipil dan politik, dan convenant hak ekonomi, sosial dan budaya;

c) Deklarasi Wina 1993;

d) Declaration on human dispensability

Sedangkan kesepakatan yang bersifat nasional termaktub dalam Tap. MPR No. XVII Tahun 1998, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, GBHN 1998, UUDS K-RIS 1949, UUDS 1950, dan rumusan Konstituante. Pada prinsipnya keseluruhan ketentuan HAW (Hak Asasi Warga) dan HAM dalam bab X dan XA merupakan artikulasi dan pengembangan deklarasi-deklarasi HAM internasional. Hanya saja ada beberapa pasal tertentu yang sengaja ditambahkan dan dirumuskan ke dalam materi HAM (bab XA) UUD 1945 dalam kerangka menghormati dan melindungi nilai-nilai kultural dan historis sosial budaya masyarakat Indonesia (Pasal 28I ayat (3).

Hak Asasi Manusia, sebagaimana termaktub dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:

“Adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”

Artinya, yang dimaksud sebagai HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Karena itu hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Dengan dicantumkannya HAM dalam UUD 1945 maka telah resmi menjadi hak-hak konstitusional setiap utorang atau constitutional rights.

Namun tidak semua constitutional rights itu identik dengan human rights, karena ada juga hak-hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya adalah hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah the citizen’s constitutional rights, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena itu tidak semua the citizen’s rights adalah the human rights, tetapi dapat dikatakan bahwa semua the human rights adalah the citizen’s rights.

Di negara lain, contoh pembedaan itu bisa ditemukan. Di Amerika Serikat, misalnya, biasa dibedakan antara the People’s rights dengan the citizen’s rights. Misalnya, diajukan pertanyaan, “Are you one of the people of the United States as contemplated by the U.S. Constitution Preambule? Or, are yoe one of the citizen’s of the United State as the defined in the U.S. Constitution 14th Amendment?.”If you are one the People of the United States, then all ten amendments are available to you. You have natural rights. If you are a citizen of the United States, then you have civil rights (properly called civil privilages).[17]

Pengertian-pengertian mengenai Hak Warga Negara juga perlu dibedakan antara hak konstitutional dengan hak legal. Hak konstitusional adalah hak yang dijamin dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak hukum timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya (suborbinate legislations). Dengan demikian maka ketika ketentuan tentang HAM diadopsi secara lengkap dalam UUD 1945, secara otomatis hak asasi manusia dan hak warga negara dapat dikaitkan dengan pengertian constitutional rights yang dijamin dalam UUD 1945. Namun di samping itu, setiap warga negara Indonesia juga memiliki hak-hak hukum yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari peraturan di luar UUD itu, dinamakan hak hukum (legal rights), bukan hak konstitusional (constitutional rights).

Kedua, hak non derectablerights yaitu hak yang tidak boleh dicabut oleh siapa pun. Hak non derectablerights ini di antaranya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan berpikir, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (Pasal 28B ayat (1), 28E, 28G, 28I).

Satu pasal HAM yang banyak meramaikan konstelasi pelaksanaan JR sepanjang Agustus sampai Desember 2003, dari 23 perkara yang diajukan ke meja MK adalah berkaitan dengan Pasal 28I ayat (1). Dalam ketentuan itu disebutkan di antaranya “perihal hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Ketentuan inilah kemudian menjadi dasar permohonan JR Mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia dan Masykur Abdul Kadir[18] (salah seorang terdakwa kasus Bom Bali) terhadap Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali. Yang dipermasalahkan Pemohon adalah pemberlakuan Undang-undang yang berlaku surut (mundur), yaitu setelah ada kejadian baru dibuat Undang-undangnya. Manurut Pemohon, hal demikian sangat bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan jika dibiarkan maka Undang-undang tersebut akan merusak tatatanan sistem hukum dan melanggar aspek HAM manusia. Dari dua kasus di atas tampak terlihat bahwa kedua pemohon menempatkan bunyi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sebagai prinsip HAM universial dan mutlak dengan pemahaman yang monointerpretasi sesuai bunyi gramatikal kalimatnya sehingga ia harus diterima sebagaimana bunyi Pasal tersebut. Dari sudut kualitas materi perkara, kita bisa mengambil persamaan dengan permohonan JR yang diajukan oleh para anggota AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) terhadap PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN kepada MA. Namun dalam keputusannya, MA menolak permohonan tersebut dengan pertimbangan asas manfaat, dimana pembentukan BPPN dalam rangka untuk menanggulangi krisis perbankan. Apa yang dapat ditarik benang merah dari kasus-kasus tersebut, ialah bahwa dalam kerangka melindungi HAM sosial atau kolektive demi perlindungan keselamatan dan kesejahteraan rakyat banyak maka suatu asas dapat dilanggar atau dikesampingkan. Demikian juga halnya asas retroaktif, bahwa dalam keadaan yang luarbiasa (seperti terkait dengan pelanggaran HAM berat dan pemberantasan KKN berat) maka kaedah Undang-undang dapat menyimpangi keberlakuannya demi melindungi kepentingan HAM sosial. Atas dasar itu pula maka asas retroaktif ini pun seharusnya dipandang relatif dan kontekstual.

Ketiga, hak-hak pembangunan seperti hak warga negara untuk memperoleh kesejahteraan yang layak dan berperikemanusiaan, memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan hak adat (Pasal 28C, 28D, 28E ayat (1), 28F, 28H).

Keempat, prinsip keadilan gender, bahwa konstitusi menjamin prinsip persamaan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (Pasal 28C ayat (2), 28D ayat (1, 2, dan 3), 28H ayat (2), 28I ayat (2)).

Kelima, penegasan tentang hak-hak anak (Pasal 28B ayat (2)).

Keenam, hak kebebasan seseorang menjalankan haknya itu dibatasi oleh kebebasan orang lain (Pasal 28J ayat (1 dan 2)). Dari rumusan pasal-pasal HAM di atas terlihat jelas betapa spirit yang dibangun dalam konstitusi UUD 1945 adalah spirit liberalisme di mana aspek HAM lebih limitatif, kuantitatif, dan menonjol (dominan) ketimbang aspek KAM (kewajiban asasi manusia). Ini sekaligus menunjukkan bahwa jaminan perlindungan HAM, prinsip demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum telah mendapat perhatian yang serius. Namun persoalannya, bagaimana jika dua hak asasi saling bertentangan? Pertanyaan tentang kemungkinan kontradiksi antara dua hak asasi timbul karena hak-hak asasi sosial hanya dapat dipenuhi dengan mencampuri hak milik pribadi. Untuk membiayai prasarana pendidikan dan kesehatan bagi golongan masyarakat lemah, negara harus menaikkan pajak, misalnya. Dan itu berarti negara mengambil sebagian dari milik orang kaya untuk memberikannya kepada orang lain. Maka di antara tuntutan kebebasan dan kesamaan terdapat ketegangan. Apabila tuntutan kebabasan dimutlakan, perbedaan antar kelas akan tajam. Sebaliknya, jika tuntutan kesamaan dimutlakan , kebebasan mesti hilang. Solusinya, masing-masing hak asasi harus berlaku prima facie.[19] Artinya, sejauh hak-hak itu dilihat pada dirinya sendiri hak-hak itu harus sepenuhnya dijamin, tetapi karena dalam kenyataan kehidupan masyarakat hak-hak itu baik saling menunjang maupun saling membatasi, masing-masing justru tidak boleh dimutlakkan melainkan harus dijamin dengan melihat hak-hak lain.

Jaminan perlindungan HAM merupakan artikulasi dari rakyat yang berdaulat dan kekuasaan negara yang terbatas atau dibatasi secara normatif dan moral oleh HAM itu sendiri dan konstitusi. Berangkat dari pemikiran itu, maka ada dua langkah yang setidaknya sah dan dapat dibenarkan. Pertama, menempatkan HAM pada norma dasar atau sumber hukum tata negara tertinggi yakni konstitusi (UUD 1945 dan Ketetapan MPR). Kedua, menempatkan HAM pada satu bentuk norma hukum (formell gezets) yakni undang-undang. Melalui bentuk hukum tersebut mekanisme partisipasi aktif rakyat baik secara individual, kelompok, institusional maupun prosesual lebih terjamin sehingga dengan demikian rakyat dapat ikut serta menentukan pengaturan HAM yang pada hakekatnya menentukan dirinya sendiri. Sedangkan pengaturan dalam bentuk Keppres – yang dari sifat dan bentuknya merupakan keputusan administratif pemerintahan (administratiefrechtelijk)—maka dipandang tidak tepat. Pengaturan dalam bentuk Keppres tersebut, di samping mengandung kontroversial dan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, juga dikhawatirkan akan merestorasi bentuk-bentuk penyelewenangan penindasan HAM oleh penguasa atas nama hukum dan demi kepentingan umum.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penuangan HAM sebagai satu konsep dasar alamiah atas keluhuran, kehormatan, dan perlindungan manusia sebagai mahkluk Tuhan yang bermartabat ke dalam konstitusi merupakan satu upaya menjamin konstitusionalitas kehidupan manusia yang berdasarkan nilai-nilai universalitasnya harus dilindungi, dihormati dan dipelihara berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, keadilan dan keseimbangan. Penderivasian HAM ke dalam bentuk peraturan apapun.

1. HAM Beragama dalam Amandemen UUD 1945

Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.

Semula, rancangan awal Pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Hal itu bukan berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan Pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; kedua, mengubah Pasal 29 ayat (1) dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil siding BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi).

Hal menarik dari perdebatan di MPR tentang Pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, Pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan dalam siding PPKI.

Maka tidak berlebihan kalau Musdah Mulia mengatakan bahwa, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan. Ia menambahkan, sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.[20]

2. Beberapa Regulasi terkait dengan Kebebasan Beragama

Sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan pemerintah sempat mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, Pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan dengan tambahan salah satu pasal yakni Pasal 28E selain yang diatur dalam Pasal 29. Pasal 28E ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya …..”. Ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan…”.

Ini artinya, kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut adalah hak asasi manusia (human rights) sekaligus hak warga negara (the citizen’s rights) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945. Ketentuan ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.

Jika ingin dilihat lebih jauh, pemajuan HAM beragama dan kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan tidak hanya sebatas hak konstitusional yang non-derogable melainkan juga menjadi hak hukum (legal rights). Ini terlihat dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Kemudian secara khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965
(Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) secara implisit ditegaskan dalam konsideran huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan umum lainnya”. Secara redaksi, memang tidak ditemukan bidang agama di dalamnya akan tetapi dengan kata “atau bidang kehidupan umum lainnya” dapat ditafsirkan bahwa bidang agama dan segala ruang lingkupnya termasuk materi yang tidak diperkenankan mendapat perlakuan diskriminasi oleh institusi negara atau kelompok komunitas yang lain. Atau dengan kata lain pada prinsipnya negara harus menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk diskriminasi rasial harus dicegah dan dilarang.

Dalam UU NO. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) atau dikenal dengan Undang-undang Hak Sipil, secara umum dijelaskan bahwa

“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”

Ketentuan ini merupakan konsekwensi yuridis bergabungnya Indonesia ke dalam ke anggotaan PBB sehingga mau tidak mau harus meratifikasi kovenan-kovenan yang disahkan ke dalam undang-undang. Dengan turutnya Pemerintah Indonesia menandatangani sekaligus mengundangkannya ke dalam undang-undang maka hak-hak sipil khususnya terkait dengan agama semakin kuat legitimasinya menjadi legal rights.

Dalam rangka demam promosi HAM yang tidak lain sebagai tuntutan konstitusional, demokrasi, dan kemanusiaan universal, Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783).

Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat ditemukan pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:

1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:

1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.

2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat tertentu di Afrika.

4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.

5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)

5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.

5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.

Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu:

1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya.

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.

8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.

HAM Beragama dalam Perspektif Hukum Islam

Sebagaimana diketahui bahwa dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (abad modern sekarang ini).

Secara historis, hubungan pola pertama dan kedua sudah berlalu. Meski terdapat sisa-sisa masa lalu tetapi realitas politik memilih pola hubungan yang variatif atau eklektis, dan umumnya cenderung sekuler.

Sejauh ini banyak beranggapan bahwa hubungan sekuleristik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Pola ini menempatkan agama secara terpisah sehingga negara tidak dapat memperalat agama atau sebaliknya, agama tidak bisa memperalat negara untuk kezaliman atas nama Tuhan.

Tapi, apakah persoalan hubungan agama dan negara sesederhana itu? Benarkah, pola hubungan sekuleristik pada mulanya merupakan wisdom yang didapat dari Barat yang merupakan hasil dialektika sejarah negara monarki dan teokrasi. Bagi Islam, persoalannya bukanlah Barat benar dan Timur salah, atau sebaliknya. Melainkan soal ketakwaan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:[21]

“Ini disebabkan karena Allah telah menurunkan Kitab dengan benar. Dan sesungguhnya orang yang berselisih tentang Kitab, mereka terlalu jauh dalam perlawanan.”

Namun tak dapat dipungkiri bahwa sejak ide sekulerisme menggelinding, pemikiran Hukum Ketatanegaraan Islam terbelah menjadi tiga.[22] Golongan pertama memandang negara dan agama merupakan satu entitas yang tak terpisah dengan bukti sistem pemerintahan politik yang dijalankan Rasulullah di Madinah dan Khulafaur Rasyidin. Golongan kedua memandang negara dan agama merupakan entitas yang berhubungan. Memang nash tidak menjelaskan entitas negara di dalamnya tetapi prinsip-prinsip yang mengatur menjadi sandaran bagi pembentukan negara Islam. Sedangkan golongan ketiga berpandangan bahwa negara dan agama merupakan entitas yang terpisah (sekuler). Tuhan memberikan otonomisasi kepada manusia melalui rasio dan hati untuk merumuskan negara yang terbaik sesuai dengan kehendak rakyat. Bagi golongan ketiga ini, negara agama ideal hanya ada pada masa Rasulullah dan khulafaurrasyidin sepeninggal Umar. Setelah itu, Islam tidak memiliki ukuran negara agama yang ideal. Hal ini terbukti dengan tidak adanya praktik kenegaraan Islam yang konseptual sesuai dengan prinsip nash.

Munculnya gerakan pembaharuan pemikiran dalam ketatanegaraan Islam merupakan hal yang wajar dan logis, karena budaya manusia selalu berkembang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga sangat berpengaruh pada pola pikir manusia, termasuk dalam memahami teks-teks agama. Namun, satu prinsip yang perlu selalu dipegang adalah bahwa pembaharuan itu hendaknya tidak menghilangkan inti dari ajaran agama itu sendiri. Bila inti ajaran agama itu hilang, maka namanya bukan lagi pembaharuan, tetapi perusakan atau penggantian dengan hasil pikiran manusia sendiri tanpa mengindahkan inti ajaran agama yang pada dasarnya berasal dari wahyu Tuhan.

Pembaharuan pemikiran dalam Islam, bisa dimulai dengan menyimak pembaharuan pemikiran pada tahap pramodernis. Pelopornya adalah Muhammad ibn Abdul Wahab. Dia berpendapat, pada masa itu di kalangan umat Islam sudah banyak terjadi penyimpangan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Oleh karena itu, dia menyerukan kepada umat Islam untuk kembali pada kemurnian dan keaslian ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Hadis.

Ide-ide pembaharuan Abdul Wahab itu memang menyangkut banyak masalah,

seperti anjuran untuk melaksanakan ijtihad, dan seruan untuk menjauhi taklid, tahayul, bidah, khurafat, praktik tarikat yang menyimpang, dan fatalisme. Dia juga menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan jihad melawan kezaliman, kebatilan, dan kemaksiatan. Di Indonesia, pengikut golongan ini dapat ditemukan dalam organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Mujahidin, Hijbuttahrir, Dewan Dakwah Islam, Islam Sufi, dan Front Pembela Islam. Meski Muhammadiyah tidak seutuhnya memenuhi kualifikasi ide-ide di atas, seperti konsep jihad, akan tetapi upaya pemurnian ajaran Islam dari berbagai bentuk khurafat merupakan ide dasar ajaran Muhammadiyah.

Adapun gerakan pembaharuan yang mulai membuka diri terhadap pengaruh budaya Barat adalah mereka yang digolongkan pada kaum modernis. Tokoh-tokohnya yang terkemuka adalah Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Dari tokoh-tokoh tersebut, Sayyid Ahmad Khan tampak lebih menekankan pada pemikiran yang rasional dan liberal.

Seperti pendahulunya, mereka juga menyerukan kepada umat Islam untuk kembali pada kemurnian dan keaslian Islam, melakukan ijtihad, menjauhi taklid dan fatalisme. Namun mereka menganjurkan umat Islam untuk membuka diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datang dari dunia Barat, demi kemajuan umat Islam sendiri. Tetapi mereka mengingatkan umat Islam agar tidak hanyut dalam budaya asing.

Gerakan pembaharuan yang muncul berikutnya adalah gerakan kaum neomodernis. Gerakan ini ingin memadukan antara khazanah Islam klasik dengan modernitas. Pada tahap ini muncul gerakan-gerakan sosial dan politik yang terorganisasi secara modern. Meski gerakan ini banyak menimba kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia Barat, namun mereka ingin tetap mempertahankan keotentikan identitas Islam, sehingga mereka berprinsip, modernisasi Islam tidak identik dengan westernisasi.

Fazlur Rahman (almarhum) memandang, gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam merupakan mata rantai yang saling menyambung. Gerakan pembaharuan pramodernis menekankan pada pelaksanaan ijtihad, reformasi dan purifikasi. Kaum modernis berupaya untuk menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan modern yang dibentuk oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kaum modernis melakukan ijtihad tidak terbatas pada masalah agama saja, tetapi diperluas sehingga menyangkut penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kaum modernis ini dapat dibagi dua, yaitu kaum modernis klasik yang masih menunjukkan sikap hati-hati terhadap budaya Barat, dan kaum modernis kontemporer yang bersikap akomodatif terhadap budaya Barat. Sedangkan kaum neomodernis berupaya melakukan rekonstruksi Islam dengan memadukan khazanah intelektual Islam dengan budaya modern.

Adalah Abdullah Ahmad An-Na’im,[23] seorang pemikir Muslim terkemuka dari Sudan yang dikenal luas sebagai pakar Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan politik. Dia juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi melalui tranformasi budaya internal. Saat ini An-Na-im bekerja sebagai professor Charles Howard Candler di bidang Hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat.

Di antara pemikiran penting dari An-Na’im soal ini adalah, sebagaimana dikatakannya, “Sekularisme tidak berarti pemingiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat.” Menurutnya, keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan publik dan menetapkannya mejadi undang-undang atau peraturan melalui Public reason (pemikiran umum). Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Mnusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim.

Menurut An-Na’im, syariat memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Namun, penerapan syariat tidak dapat dipaksakan oleh tangan-tangan negara. Syariah sebagai ajaran suci, haruslah dilaksanakan oleh setiap muslim secara sukarela. Jika penerapan syari’at dipaksakan oleh negara secara formal maka dapat menyebabkan prinsip-prinsip syariat kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Oleh karena itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam. Negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama manapun.

Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama.

Karenanya, perlu pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi.

Dari uraian An-Na’im di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan HAM secara utuh hanya dimungkinkan dalam konsep negara sekulerisme yang memisahkan antara ranah agama dan negara. Hubungan agama dan negara yang terpisah ini bukan berarti mengasingkan agama dari akar spiritual muslim. Justru dalam bentuk itu, kebebasan individu dalam beragama akan diberikan secara sama tanpa ada tirani mayoritas dari ortodoksi Islam yang ada yang berlindung dalam tubuh negara atas nama Tuhan. Dalam kebebasan HAM itu, agama dan aliran manapun dapat beribadah secara nyaman tanpa ada hujjatan sesat atau pengkafiran.

Perlindungan hak azasi manusia sebenarnya tidak hanya menjadi tradisi kolektif dalam masyarakat Barat yang notabene telah melahirkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 sebagai konsensus internasional. Hal ini juga telah menjadi bagian dari tradisi modern masyarakat dan negara-negara muslim melalui konsensus Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) tahun 1967 di Cairo Mesir. Hal ini merupakan realitas sosial dan politik di kalangan negara-negara muslim dalam mengangkat isu-isu HAM sebagai bagian dari tradisi kepercayaan (agama) dan tradisi budayanya.

Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa perdebatan antara hukum islam dan HAM sesungguhnya telah mengemuka di kalangan ahli hukum modern. seperti telah disinggung sebelumnya an-na’im banyak dikenal sebagai agamawan humanis yang telah menunjukan peta konflik antara syari’ah historis dan hak azasi manusia dalam bidang pemberlakuan hukum pidana islam di negara sudan. Kemudian Ann Elizabeth Mayer juga telah menemukan fakta-fakta krusial peta konflik antara hukum Islam dan HAM dalam proses Islamisasi di Negara Republik Islam Pakistan dan Iran. Hal yang paling serius menurutnya adalah menyangkut masalah gender, diskriminasi terhadap kalangan non-muslim dan minoritas agama lainnya.[24]

Berbeda dengan pandangan kaum Liberal, pandangan kaum konservatif atau Islam tekstual, atau Islam Normatif seperti Hizbuttahrir[25] bahwa pada prinsipnya agama dan negara merupakan entitas yang saling berhubungan. Karena Allah telah menetapkan hukum-hukumnya dalam nash secara utuh bagi kesejahteraan umat manusia. Allah swt berfirman: Lâ ikrâha fî al-dîn (Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Makna al-ikrâh, sebagaimana dituturkan al-Baidhawi, adalah mengharuskan orang lain melakukan suatu perbuatan, sementara orang yang dipaksa itu tidak melihat kebaikan di dalamnya tatkala dia membawanya.[26] Adapun ad-dîn yang dimaksud dalam ayat ini adalah dîn al-Islâm. Kendati berbentuk berita, yakni menegasikan pemaksaan dalam agama, ia mengandung makna larangan. Artinya, ayat ini melarang tindakan memaksa orang kafir untuk masuk ke dalam dîn al-Islâm.

Bagi golongan ini, manusia memiliki kebebasan penuh dalam beragama. Manusia bebas memeluk, menentukan, dan berpindah-pindah agama sesukanya; termasuk juga bebas untuk tidak beragama. Akan tetapi bukan dalam pengertian yang sebebas-bebasnya, sebagaimana penafsiran Sekularisme-Kapitalisme itu.

Ditambahkan golongan ini bahwa tiadanya paksaan dalam agama itu hanya dalam konteks masuk Islam; bahwa orang kafir, selain musyrik Arab, tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Namun, jika sudah masuk Islam, seseorang tidak boleh keluar atau murtad darinya. Jika pelakunya bersikeras dengan pendiriannya, ia harus dijatuhkan hukuman mati.

Dalam ide kebebasan beragama, manusia dipandang memiliki kebebasan mutlak dalam memilih agama; seolah-olah kebebasan itu menjadi hak manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Tidak ada konsekuensi apa pun atas pilihan seseorang dalam memilih agama. Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Dalam masalah agama dan ideologi, manusia tidak dibiarkan memilih sesukanya. Allah Swt. telah memerintahkan setiap manusia untuk memeluk Islam. Perintah tersebut bersifat jazm (tegas dan pasti). Siapapun yang memenuhi perintah itu akan mendapatkan pahala, surga, dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang menolak perintah tersebut, baginya azab neraka Jahanam selama-lamanya. Itu artinya, memeluk Islam bukan perkara pilihan, dalam pengertian, boleh dikerjakan atau tidak, sesuka manusia. Ia adalah perintah yang harus dikerjakan.

Ditambahkan pula, Rasulullah saw. diutus sebagai rasul terakhir yang membawa risalah Islam untuk seluruh manusia tanpa terkecuali.[27] Sejak saat itu, Allah Swt. hanya mengizinkan dan meridhai satu agama untuk dipeluk oleh umat manusia, yaitu Islam.[28] Siapapun yang memeluk agama seIain Islam tidak akan Allah ridhai. Allah Swt. pun dengan amat tegas menyampaikan bahwa Dia tidak akan menerima semua amal orang yang mencari agama selain Islam. Ditegaskan pula, di akhirat kelak mereka termasuk orang yang merugi.[29]

Itu semua, menurut golongan ini, menunjukkan dengan pasti bahwa Allah swt. tidak memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan keinginannya. Allah swt. telah menetapkan Islam sebagai agama yang haq, memerintahkan semua manusia untuk memeluknya, dan akan menjatuhkan sanksi amat berat bagi orang-orang yang membangkang-Nya.

Dari uraian pandangan Islam tekstual ini bahwa agama dan negara harus disatukan jika ingin mendapat ridho dan barokah dari Allah. Dalam rangka itu, manusia harus tunduk pada ketetapan hukum Allah sebagaimana tertera dalam nash. Karena diyakini pandangan ini hanya Islamlah yang benar. Sehubungan dengan itu pula, pada dasarnya manusia itu tidak bebas dalam pengertian mutlak melainkan terdapat batasan-batasan sehubungan datangnya ajaran Islam.

Analisis Pelaksanaan HAM Beragama Internal di Indonesia Pascaamandemen UUD 1945 dan Hukum Islam

Secara dialektis, perubahan politik nasional sebagai satu akibat perubahan politik internasional membawa dampak positif maupun negatif terhadap kehidupan bangsa. Sisi positifnya adalah derasnya arus globalisasi membuka kran demokrasi Indonesia dengan tumbangnya rezim diktator Soeharto digantikan rezim demokratis yang menapaki transisi. Di samping itu, terjadi perubahan besar-besaran pula terhadap konsepsi dan ideologi kenegaraan dan agama khususnya terkait dengan HAM beragama masyarakat warga Indonesia. Bandul nation state dengan simbol falsafah Pancasila yang sebelumnya merupakan eklektis dari sekuleris dan Islamis, saat ini setuju atau tidak setuju memutar bandul ke arah kiblat sekuleris.

Beberapa indikator yang bisa dilihat adalah 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945. Pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesis dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.

Memang, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang di dalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.

Dalam perubahan itu, HAM beragama merupakan HAM yang tidak boleh dikurang dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable). Dengan demikian seharusnya HAM beragama dan menjalankan keyakinan Islam harus dijamin dan dilindungi secara utuh baik oleh Pemerintah, organisasi keagamaanIni sebagai satu konsekuensi logis dari transformasi HAM (human rights) dan HAW (the citizen’s rights) menjadi constitution rights. Dan semakin diperkuat lagi dengan lahirnya regulasi-regulasi terkait dengan HAM seperti UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009, dan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM, sehingga menjadikan HAM tersebut sebagai legal rights.

Sepintas tampak tidak ada persoalan dalam tatanan yuridis itu akan tetapi dengan dikukuhkannya kembali UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama menjadi UU No. 5/1969 oleh Soeharto berarti kebebasan HAM Beragama mengalami sandungan kembali. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Undang-undang ini meski secara prinsipil bertentangan dengan konstitusi tetapi dalam banyak kasus menjadi sandaran penjeratan aliran keagamaan yang bertentangan dengan ortodoksi Islam yang ada.

Inilah ironisnya, meski secara yuridis HAM beribadah sesuai keyakinan Islam telah dijamin secara pasti realitas justru pelanggaran HAM itu semakin terorganisir, massif, dan sistemik. Seperti persekusi atau kekerasan yang dialami Ahmadiyah (JAI) di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat pada beberapa bulan lalu. Meski golongan ini telah mengantongi izin berupa Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA/23/13 tanggal 13-3-1953 (Tambahan Berita Negara: tangga131-3-1953 No. 26), namun penyerbuan dan pengrusakan tempat ibadah, institusi pendidikan, pemukiman, dan serangan pisik tetap terjadi. “Aktor (non) intelektual” yang berada di balik gerakan ini adalah orang-orang dan kelompok yang sama: Abdurrahman Assegaf, Kholil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, HTI, MMI, FUI, dll. Ancaman terhadap warga Ahamadiyah juga meningkat di banyak tempat. Sulit ditolak, bahwa MUI, secara tak langsung, berada di balik gejala peningkatan kekerasan ini. Pada 29 Juni 2005, MUI mengeluarkan sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan ajaran Ahmadiyah. Fatwa ini seperti memberi justifikasi tak langsung terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang selama ini mengancam secara fisik jamaah Ahmadiyah. Pihak MUI memang selalu menolak keras jika dianggap bertanggungjawab atas kekerasan itu. Tetapi bahwa MUI tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah kekerasan itu, sebaliknya hanya melemparkan tanggungjawab kepada pihak kepolisian, adalah tanda yang sangat jelas bahwa lembaga ini memberi “stempel tak langsung” terhadap kekerasan tersebut.

Bahkan baru-baru ini, rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (selanjutnya: Badan Pengawas) memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, dan menyarankan agar diterbitkan Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan sekte ini di Indonesia. Salah satu pihak yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu adalah Departemen Agama. Dapat diduga bahwa Depag-lah yang paling berperan penting dalam memutuskan Ahmadiyah sebagai sekte sesat. Peserta lain dalam rapat tersebut, seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian dalam Negeri, tampaknya kurang mempunyai otoritas dalam masalah yang menyangkut kepercayaan orang Islam ini. Satu-satunya kemungkinan yang paling masuk akal adalah Depag. Bukan tak mustahil, pendapat Depag dipengaruhi, antara lain, oleh fatwa MUI. Jika ini benar, maka pengaruh fatwa MUI sangat besar sekali dalam membentuk kebijakan pemerintah mengenai masalah agama.

Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul dalam dua bentuk. Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006. Sepanjang Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq.[30] Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.

Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat, misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini berlangsung.

Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM pertengahan Desember 2007, sejak 2004 – 2007 telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan, dan pengrusakan gereja. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat, Banten, Poso, Jawa Tengah dan Bengkulu.

Aksi kekerasan keagamaan itu sepertinya berbanding lurus dengan meningkatnya gerakan islamisme yang juga kian menjamur hingga ke pelosok daerah. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kristenisasi dan pemurtadan, anti-maksiat, aliran sesat, atau penegakan syariat Islam.

Di daerah, kelompok-kelompok islamis ini menjadi aktor penting bagi lahirnya sejumlah perda bernuansa Syariat. Sebut saja Komite Penegakan Syariat Islam (KPPSI) pimpinan Aziz Kahar, putera Kahar Muzakar pemimpin DI/TII, di Sulawesi Selatan . Organisasi ini dengan tegas menyatakan misinya sebagai organisasi yang memperjuangkan Syariat Islam di Sulsel secara legal formal melalui perjuangan politik konstitusional, demokratis, dan tetap dalam bingkai NKRI. Perda-perda yang lahir di Sulsel sebagian besar ditopang KPPSI. Dengan kendaraan ini pula Aziz Kahar juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sulsel pada 2004 setelah Aksa Mahmud. Aziz meraih suara 636.856 suara. Tahun 2007, Azis mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Kalsel berpasangan dengan Mubyl Handaling.

Menariknya, KPPSI berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh organisasi besar yang selama ini dikenal sebagai organisasi moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Strategi mencari legitimasi dari ormas besar ini juga dipakai kelompok-kelompok Islamis di derah lain. Dalam kasus Monas, bisa dilihat pula bagaimana Riziek Sihab berupaya mencari dukungan opini dari pernyataan ketua PBNU Hasyim Muzadi terkait posisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragaman dan Berkeyakinan (AKKBB).

Di Sulawesi Selatan, KPPSI berhasil mengajak tokoh NU dan Muhammadiyah untuk ikut menandatangi surat dukungan kepada usaha penegakan syariat Islam yang dilakukan KPPSI. Mereka antara lain KH. Sanusi Baco, Lc., pimpinan pimpinan NU Sulsel, dan KH. Jamaludin Amien dan pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsesl. Fenomena serupa juga tampak dalam pernyataan-pernyataan sikap Forum Umat Islam (FUI) di Jawa Barat terkait isu-isu keagamaan tertentu.

Agar lebih “efektif” di lapangan, kelompok Islamis ini biasanya membentuk kelompok-kelompok sayap militer. KPPSI misalnya membentuk Lasykar Jundullah dan Aliansi Muslim Bulukumba yang menjadi organ taktisnya. Di Jawa Barat berdiri Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) diklaim didukung 27 organisasi massa Islam antara lain Front Pembela Islam, Barisan Pemuda Persis, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Jumlah anggotanya diklaim mencapai 50 ribu laskar yang tersebar di Bandung, Purwakarta, Garut, dan Sumedang.

Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal. Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan mayoritas dan tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga mengorbankan mereka yang sesungguhnya adalah korban kekerasan.

Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut W Cole Durham, Jr (1996), penghapusan diskriminasi menuju kemerdekaan beragama dan berkeyakinan membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain 1) Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2) Stabilitas ekonomi; 3) Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4) Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.

Mengutip MM Bilah, “Mengapa iklim kebebasan beragama sulit untuk diwujudkan di Indonesia?” Bilah memberikan gambaran paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masyarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Seseorang tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti disadari.

Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman. Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka). Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid al-syariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl); kebebasan memiliki properti (hifz al-nasl); kebebasan beragama (hifz al-din).

Sejalan dengan ide itu adalah pandangan Islam yang dilontarkan oleh Abdullah An-Na’im bahwa pemajuan HAM khususnya HAM beragama dan kebebasan beribadah sesuai keyakinan Islam hanya dimungkinkan dalam konsepsi negara sekuler. Sekularisme tidak berarti pemingiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat. Menurutnya, keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan publik dan menetapkannya mejadi undang-undang atau peraturan melalui Public reason (pemikiran umum). Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim. Agama sebagai tuntutan naluriah manusia tidak akan mungkin diseragamkan. Keberagamaan yang pluralis hanya dimungkinkan jika negara menjamin kebebasan individu. Kebebasan individu dan perlakuan yang sama hanya bisa diwujudkan dengan memisahkan agama dari ranah negara sehingga negara tidak menjadi kuda tunggangan ortodoksi Islam yang ada untuk memonopoli kebenaran agama dan menghegemoni.

Di sinilah urgensinya berpikir pluralis. Menurut Budhy Munawar-Rachman,[31] Direktur Pusat Studi Paramadina Jakarta, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambar kesanfragmentasi, bukan pluralis. Pluralisme juga bukan berarti dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticm at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme, tegasnya, suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan. Mengutip istilah Nurcholis Madjid,[32] bahwa “kebijakan abadi” merupakan tuntutan yang telah diperjanjian manusia pada alam primordial (alam bawah sadar manusia/ alam lauhul mahfudh), yang tidak lain adalah fithrah Allah untuk manusia sesuai dengan firman Allah:[33]

“Maka hadapkanlah wajahmu untuk (menerima) agama (yang benar) ini secara hanif (mengikuti dorongan untuk mencari kebenaran), sesuai dengan fithrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi sebagian manusia tidak mengetahuinya.”

Karena itu, hemat Amin Abdullah,[34] menghadapi realitas empirik kehidupan masyarakat beragama yang pluralistik, seorang agamawan dituntut memiliki sikap yang lebih realistik. Pemecahan masalah realitas keagamaan tidak cukup menggunakan pendekatan doktriner-normatif untuk menghindari truth clime (benar secara subjektif yang dangkal). Akan tetapi penting juga pendekatan historis kritis dengan membuka tabir latarbelakang sosio-cultural, politik, ekonomi masyarakat yang mengitarinya. Integrasi pendekatan ini memungkinkan melahirkan kearifan atau membuka makna fenomena keberagamaan sehingga melahirkan keadaan yang lebih kondusif dan humanis sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman. Dalam hubungan itu pula, umat Muslim dituntut bersedia mengembangkan dialog-dialog secara terbuka dengan penuh kesabaran dan taqwa dalam setiap langkah perjalanannya. Peran sejarah peradaban Islam masa lalu dapat menjadi modal dalam merealisasikan ajaran-ajaran etika keagamaan dalam memberikan sumbangan yang berharga bagi proses pencarian nilai-nilai keagamaan yang lebih esensial dan fundamental. Bahkan secara keras, umat muslim diperingatkan oleh Al-Quran untuk tidak mencemoohkan golongan lain, karena boleh jadi mereka yang dicemoohkan jauh lebih baik dari yang mencemoohkan.[35]

Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut pelaksanaan HAM beragama internal pascaamandemen UUD 1945 dan Hukum Islam secara konseptual mengalami perubahan yang signifikan. Secara yuridis, perubahan ketentuan HAM adalah hasil resepsi dari kovenan internasional dan hukum nasional sebelumnya seperti pengaturan HAM dalam KRIS 1947 dan UUDS 1950 yang lahir terlebihdahulu dari kovenan itu sendiri. Ini artinya, langkah mudah bagi Indonesia untuk mengimplementasikannya. Perubahan konseptual itu membawa dampak pada perubahan pola hubungan agama dan negara khususnya terkait dengan nasib hak-hak keberagamaan dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan. Adanya indikasi pergeseran pola hubungan agama dan negara yang sebelumnya eklektis dengan perumusan nation state atau Pancasila, di era reformasi tampaknya ke arah sekuleris. Sejalan dengan itu, pandangan hukum Islam yang diwakili oleh Islam neomodernis, liberal, atau pluralis seperti Abdullah An-Na’im bersama Mazhab Paramadina Jakarta, sepaham bahwa tuntutan HAM hanya dapat ditemukan dalam pola negara yang sekuleris. Sekuler atau pluralis bukan berarti menafikan fanatisme dan mengalienasi spiritual manusia, melainkan upaya mewujudkan kerukunan hidup dalam semangat kebinekaan tanpa ada tyrani mayoritas agama dalam negara. Namun berbeda bagi paham Islam tekstual seperti Abdurrahman Assegaf, Kholil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, HTI, MMI, FUI yang memandang bahwa sejatinya Islam membatasi HAM dengan ketundukan semata-mata pada ketentuan yang digariskan Allah. Kebenaran agama dalam keyakinan kelompok ini hanya nomor wahid yakni Islam. Karena itu hubungan agama dan negara tidak terpisah sebagai satu sarana membumikan hukum Allah agar manusia selamat dunia dan akhirat.

Dengan perbedaan pemahaman itu, meski secara konstitusional HAM beragama mendapat jaminan yang pasti, akan tetapi realitasnya ketegangan teologis antar ortodoksi Islam dengan aliran sempalan sulit dihindari. Bahkan di era pascaamandemen UUD 1945, persekusi terhadap aliran sempalan kerap terjadi baik berupa pengrusakan rumah ibadah, institusi pendidikan, tempat kediaman, ataupun pisik. Kekerasan ini terjadi secara massif, sistemik, terorganisir. Pemecahan hanya bisa dilakukan dengan beberapa prasyarat, antara lain 1) Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2) Stabilitas ekonomi; 3) Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4) Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.

Daftar Pustaka

————-, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Interfidie, 2004).

Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Akh. Minhaji, “Reformasi Hukum Islam”, Aula. Vol.III, No. 2, 1994.

Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: BIP, 2007.

—————, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Kelompok Gramedia, 2007.

Bahar, Safroedin (et.al) (editor), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995.

Bakry, Nazar , Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Radjawali, 1993.

Gunaryo, Ahmad, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Hasbi, Falsafah Hukum Islam, cet.IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1993).

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.

Jamil, Fathurraman, Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Kasim, Ifdhal (Ed), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan (Buku I), (Jakarta: Elsam, 2001), hlm. Ix-xv. Lihat juga Ifdhal Kasim & Johanes da Masenus Arus (Ed), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya: Esai-esai Pilihan (Buku 2), ((Jakarta: Elsam, 2001).

Kelsen, Hans, Dasar-dasar Hukum Normatif (Yogyakarta: Nusa Media Pers, 2008), hlm. 26-27

Majalah Forum Keadilan, No. 14, 29 Juli 2007

Makassary, Ridwan Al-, “Civil Rights: Kajian Konseptual dan Dilemanya di Indonesia” Materi training tentang South East Asian Advanced Programme on Human Rights, (Bangkok, Maret 2003).

Mangunsong, Nurainun, Judicial Review di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.

Mayer, Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics, Colorado: West View Press, 1999.

MD, Moh. Mahfud., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998).

—————-, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta: UII Press, 1999. Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Mulia, Musdah, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama”, makalah disampaikan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, tgl 4 Juli 2007 di Jakarta.

Rachman, Budhy Munawar-, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).

Rahardjo, Sadjipto, Hukum Progresif (Yogyakarta: Genta Press, 2008).

————-, Ilmu Hukum (Cet. Ke-V), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

—————, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Press, 2008.

Rousseau, Jean Jacques (Alih bahasa oleh Sumardjo), Kontrak Sosial (Jakarta: Erlangga, 1986).

Sadjali, Munawir, Hukum Tata Negara Islam, Jakarta: UI Pers, 1993.

Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2000, Buku Kedua Jilid 3 C (Hasil Rumusan Seminar Panitia Ad Hoc I (Sidang Tahunan 2000).

Soehino, Hukum Tatanegara: Teknik Perundang-undangan (Yogyakarta: Liberty, 1990).

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, cet.ke-7, 2005.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Jakarta: Kanisius, cet. ke-11, 1998.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1991.

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran-pemikiran Hukum Islam, cet. I, Padang: Angkasa Raya, 1990.

Wheare, K.C., “Modern Constitutions” (alih bahasa oleh Muhammad Hardani), Konstitusi-konstitusi Modern, Surabaya: Eureka, 2003.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Masalahnya, Jakarta: Huma, Elsam, 2003.

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, Bairut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.

Zulkarnai, Iskandar, “Pengatar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang Digugat, Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005.i

Media dan lainnya

detikNews, 06/10/2008.

detikNews, 2 November 2007.

detikNews, 5 June, 2008.

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/03/islam-menolak-ide-kebebasan-beragama/,2000

Kompas, 1 Desember 2000.

Kompas, 3 November

Kompas, 7 Juli 2003.

Madinahonline, di-download 13 Desember 2008

Syir’ah Online (27/07/2007).

TEMPO Interaktif, 2 November 2007.

Tempointeraktif com., 7 November 2003.

Wikipedia, download, 14 Desember 2008
[1] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, cet.ke-7, 2005), hlm. 25

[2] Ibid, hlm. 41

[3] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 21-23.

[4] Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 218.

[5] Beberapa Konvensi Internasional yang terkait dengan HAM di antaranya: Magna Charta 1215, Bill of Right 1689, The Universal Declaration of Human Right PBB 1948, International Convention Against Apartheid in Sports, Convention on Right of the Child, Convention on the Elimination of All Froms of Discrimination Against Women, Convention of the Political Rights of Women, dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman of DegradingTreatment of Punishment.

[6] Safroedin Bahar (et.al) (editor), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), hlm. 153

[7] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Kelompok Gramedia, 2007), hlm. 635.

[8] Iskandar Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang Digugat (Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005), hlm. xi

[9] K. Bertens, “Menyambung Refleksi tentang Pendasaran Hak Asasi Manusia,” dalam harian Kompas, 1 Desember 2000, hlm. 31.

[10] Dalam refleksi filosofis tentang pendasaran HAM, banyak dipilih martabat manusia sebagai fundamen yang kokoh di samping tentu kodrat manusia. Paham “martabat” menarik secara khusus karena berkaitan dengan nilai. Sejak filsuf Jerman, Immanuel Kant, langsung dimengerti martabat secara normatif. Martabat harus dihormati. Secara kongkret hal itu berarti bahwa manusia harus diperlakukan sebagai suatu tujuan bukan sarana. Pandangan inilah membawa HAM pada satu kesimpulan bahwa sebagai satu tujuan yang universal maka HAM itu universal (karena berlaku selalu dan dimana saja manusia berada adalah sama). Namun, tidak berarti pula HAM itu acultural ataupun ahistoris. Setiap pernyataan HAM lahir dari sebuah konstelasi historis yang khas. The Virginia Bill of Rights dan pernyataan hak yang tercantum dalam konstitusi Amerika Serikat dilatarbelakangi langkah berani yang diambil bangsa Amerika untuk melepaskan diri dari penguasaan Inggris dan mendirikan suatu negara merdeka. Deklarasi hak dari Revolusi Perancis timbul pada saat bangsa Perancis menumbangkan monarki feodal dan membentuk republik dimana kedaulatan langsung dipegang oleh rakyat. Dan terakhir, Deklarasi Universal HAM dari 1948 berasal dari pengalaman selama Perang Duni II.Sesudah segala kelaliman dan kekejaman yang dilakukan oleh nasional-sosialisme Jerman dan imperialisme Jepang, PBB yakin bahwa dibutuhkan suatu pernyataan HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental untuk menciptakan suasana damai yang mantap. Lihat Wandi S. Brata, harian Kompas, 3 November 2000, hlm. 37.

[11] Lihat dalam Saafroedin Bahar dkk. (Tim Penyunting), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, Hlm. 305-306.

[12] Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998).

[13] Beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang bertentangan adalah UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu, UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susduk MPR/ DPR/ dan DPRD; UU Pers; UU No. 20 Tahun 1961 tentang Prosedur Pencabutan Hak atas Tanah; Inpres No. 9 Tahun 1973 tentang Jenis-jenis Kepentingan Umum.

[14] Lihat Nurainun Mangunsong, Judicial Review di Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), hlm. 7

[15] Lihat Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 96-98. Lihat juga Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 7.

[16] Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2000, Buku Kedua Jilid 3 C (Hasil Rumusan Seminar Panitia Ad Hoc I (Sidang Tahunan 2000)), hlm. 463-522. Lihat juga Ifdhal Kasim (Ed), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan (Buku I), (Jakarta: Elsam, 2001), hlm. Ix-xv. Lihat juga Ifdhal Kasim & Johanes da Masenus Arus (Ed), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya: Esai-esai Pilihan (Buku 2), ((Jakarta: Elsam, 2001).

[17] Lihat Senate Document 99-16, The Constitution of the United States of America, Analysis and Interpretation, page 956, 957, dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: BIP, 2007), hlm. 617.

[18] Tempointeraktif com., 7 November 2003.

[19] Ibid., hlm. 132-133.

[20] Madinahonline, di-download 13 Desember 2008

[21] QS. Al-Baqarah: 176

[22] Lihat Munawir Sadjali, Hukum Tata Negara Islam, (Jakarta: UI Pers, 1993), hlm. 1-2

[23] Syir’ah Online (27/07/2007).

[24] Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics (Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.

[25] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/03/islam-menolak-ide-kebebasan-beragama/, download, 15 Desember 2008.

[26] Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), hlm. 135.

[27] lihat QS Saba’ [34]: 34 dan al-A’raf [7]: 158

[28] lihat QS al-Maidah [5]: 3 dan Ali Imran [3]: 19.

[29] lihat QS Ali Imran [3]: 85.

[30] detikNews, 2 November 2007.

[31] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39.

[32] Ibid

[33] QS. Ar-Rum: 30

[34] Lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 9-11

[35] Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Interfidie, 2004), hlm. 121.

SUMBER:

Nurainun Mangunsong, SH., M.Hum, 2010, MATERI KULIAH HUUM DAN HAM PRODI ILMU HUKUM, FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA